Senin, 30 November 2015

Dandelion.

‘Oh dia begitu luar biasa disana. Setiap gebukan dram nya membuat ku terpesona.’
“Liona apa yang kaulakukan? Jangan memandanginya seperti itu. Kau payah.” Suara itu lagi lagi mengganggu Liona disaat yang tidak tepat. “Bima! Kau ini selalu saja menggangguku. Aku tak memandanginya. Aku melihat yang lain juga.” Alibi Liona dengan cepat.

“Dasar payah! Memandanginya dari jauh tak kan membuat dia melihatmu. Kau berada diantara ribuan gadis yang menantinya.” Celoteh Bima.“Aku tak menantinya. Lagi pula siapa yang kau maksud?” “Bodoh. Siapa lagi kalau bukan...... KRIS NA? Hahahaha” “Bimaaaaaa. Sudah ku bilang. Aku tak menyukainya.” Jawab Liona kesal. “Hei gadis idiot. Nenek nenek buta pun tahu kau menyukainya.” Ucap Bima sambil mencubit kedua pipi Liona. “Kubilang tidak ya tidak!” “Iya.” “Tidak.” “Iya.” “Tidaaaaaak......”

“Liona.”

Suara itu? Aku mengenalinya.’ Detik itu juga Liona menghentikan pertengkarannya dengan Bima dan menolehkan kepala. Sontak ia pun terkejut bukan main.

“Oh hay. Kris.” Hanya itu yang keluar dari mulut Liona. “Bagaimana penampilanku tadi menurutmu?” “Kau selalu mengesankan bukan? Hahaha.” “Aku tak sehebat itu.”“Ekhem. Ekhem. Bima permisi dulu ya nona, tuan. Selamat menikmati malam indah bertabur bintang.” Celoteh Bima dan pergi begitu saja.

“Bima salah makan atau bagaimana?” tanya Krisna. “Biarkan saja. Otaknya sudah geser. Sudahlah abaikan saja dia. Bukannya dia selalu seperti itu?” Jawab Liona sebal. “Hahaha ya. Kau benar.”

*** Ruang Musik***

“Liona. Sepertinya kau ada masalah dengan Bima?” tanya Kris setelah Liona masuk ke ruang musik.“Ya tentu. Bima memang menjengkelkan.” Jawab Liona kesal.

Tiba tiba. Kris menyerahkan stik drum kepada Liona. “Ambillah.” Ucap Kris.“Untuk apa? Aku tak bisa memainkan drum.” Jawab Liona. “Kau pukul saja drum ini sesukamu, dan keluarkan semua amarahmu. Lampiaskan hingga semuanya hilang.” Kata Kris sambil tersenyum. “Kau yakin?” kata Liona ragu. “Tak ada yang tahu kalau kau tak mencobanya.”

Detik itu juga Liona mulau menuangkan segala amarahnya dan memukul drum tersebut tanpa ritme.Beberapa menit kemudian Liona sudah berhenti memukul drum tersebut. Nafasnya mulai menderu  tak beraturan.

“Bagaimana?” tanya Kris. “Hosh. Hosh. Lebih baik.” Jawab Liona sambil mengatur nafasnya.“Asal kau tau saja. Aku selalu melakukan itu saat aku marah, sedih, dan semua perasaan yang tak jelas. Dari sini aku menemukan ketenangan. Semuanya terasa lepas. Aku merasa seperti dilahirkan kembali.” Kata Kris sambil melihat ke arah jendela dan memandang mentari di sana.

“Wah kau mengajarkanku hal baru Kris. Aku tak pernah sekalipun mencoba drum. Ini kali pertamaku.” Jawab Liona. “Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan saat sedih atau marah?” tanya Kris heran.

Melihat hamparan Dandelion.” Jawab Liona ceria. “Dadelion? Apa yang kau dapatkan dari tanaman rapuh itu?” “Sesuatu yang tak pernah kau dapatkan.” Kata Liona percaya.“Oh baiklah. Liona aku mau menyanyikan satu lagu untukmu.” Kata Kris tiba tiba. “Sungguh?” Tak tau kenapa pipi Liona memerah.

Musik yang dimainkan : Bryant Adams-Heaven

***Rumah Liona***

“Hay booooo.” Sapa seseorang memasuki kamar Liona. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Liona kesal. “Wah putri idiot ini masih saja kesal ternyata.” Ucap Bima sambil menyalakan TV dan mulai memakan snack yang ada. “Terserah kau saja lah.” Liona tak mau merusak moodnya. “Kau sedang bahagia bukan?  Kau tak mau membagikannya pada sahabat tertampanmu ini?” “Baiklah. Aku memang tak dapat menyembunyikan apapun darimu. Tadi di Ruang Musik Kris menyanyikanku lagu Heaven. Oh dia terlihat mempesona.” “Oh.” Jawab Bima.

PLAK!!

Sebuah bantal mendarat mulus di kepala Bima. “Kau ini kenapa si?” tanya Bima. “Bisakah kau tidak merusak moodku?” Liona merasa sebal. “Hahaha baiklah.”

Tiba tiba Bima memegang tangan Liona.

“Kau boleh mencintai siapapun. Kau boleh bersama siapapun. Tapi mantapkan siapa pilihanmu. Kalau kau ada apa apa bilang saja padaku. Jangan pernah sungkan. Walau kau kelak melupakanku dan asik dengan pacarmu. Aku tetap berdiri disini. Kembalilah kapanpun kau mau. Jika kau jatuh. Aku akan membangkitkanmu lagi.” Kata Bima

Tak terasa air mata Liona mulau mengalir. Liona memeluk Bima dan menuangkan segala persaannya di pundak Bima.
“Hai. Kau harus kuat. Kau wanita hebat. Jadi jangan sia siakan air matamu. Ayolah kita main game saja. Aku senang melihatmu kalah.” Ucap Bima sambil membersihkan air mata di pipi Liona.

Detik selanjutnya Bima sudah memedang stick PS nya dan bersiap memulai permainan. “Bima.” Kata Liona tiba tiba. Sontak Bima menoleh “Ya?” “Terimakasih.” “Untuk apa?” tanya Bima heran. “Untuk semua yang kau lakukan.” Seulas senyum tulus terlukis di bibir Liona.

“Tak usah berlebihan seperti itu. Aku juga tak sadar bagaimana bisa berkata seperti itu. Harusnya tadi kau rekam ucapanku, agar mamaku bisa tahu bahwa anak tertampannya ini juga bisa berbicara serius. Hahaha.” Cengir Bima mengembang. Bagi Liona moment seperti ini adalah moment paling menyebalkan. Moment saat Bima merusak segala nya. Bima selalu membuat moment manis hancur begitu saja.

Tapi tetap saja. Apapun yang dilakukan Bima sudah pasti membuat Liona bahagia.

***Perpustakaan***

Waktu terasa berjalan dengan cepat, tak terasa sebentar lagi Liona akan menghadapi Ujian Kelulusan. Sudah sepekan Liona tak pernah absen dari Perpustakaan. Ntah berapa buku yang sudah ia baca, ntah berapa teori yang sudah ia jejalkan ke otaknya.

Langkah kaki Liona menuntunya kearah buku buku tebal tentang musik. Ntah apa yang ada di otak Liona sekarang, tetapi ia benar benar butuh hiburan. Tangannya terus menelusuri setiap buku, matanya tak berhenti membaca setiap judul buku yang ia jumpai.

Tiba tiba matanya terhenti karena sebuah buku tipis kecil dengan judul “CONFESSION.” Bukunya terlihat buruk, sangat tidak terawat. Ntah mengapa hati Liona menginginkan buku itu. Tanpa berfikir dua kali ia membuka bukunya halaman demi halaman. Ternyata isinya instrumen instrumen dari lagu Confession. Tak hanya instrumen piano, ada juga gitar, suling, dan lainnya. 

Ntah mengapa saat melihat buku itu hati Liona ingin sekali mendengar musiknya. Tapi ia saar, tak satupun alat musik yang ia kuasai. Akhirnya Liona mengembalikan buku tadi dan beranjak pulang.

Tanpa disadari sepasang bola mata berwarna cokelat terang mengawasinya sedari tadi. Saat Liona keluar dari perpustakaan si pemilik mata indah itu langsung mengambil buku yang sempat dipegang Liona dan meminjamnya.

***Caffe***

“Hei booooo.” Sapa seorang lelaki yang ntah datang dari mana.“Oh Tuhan bisakah kau membuat hidupku tenang walau sehari?” desah Liona pelan. “Nati kau merindukanku.” Tawa jail Bima keluar.“Tidak akan.” Jawab Liona penuh penekanan dan kembali membaca buku.

Tanpa meminta izin dari Liona, Bima sudah duduk di samping Liona dengan jarak yang nyaris tidak ada. Anehnya Liona sudah merasa biasa dengen tingkah Bima.

“Hufffttt. Bisakah kau berhenti belajar sehari saja?” kata Bima sembari meletakkan buku yang tadi dibaca Liona. “Bima kau tahu kan...” belum sempat Liona melanjutkan pembicaraannya, Bima sudah berbicara terlebih dahulu. “Aku tahu Liona. Tenang saja, aku tak kan lupa.”

“Oke untuk sekarang aku tak membaca buku lagi.” Jawab Liona. “Sungguh? Oh Tuhan terimakasih telah membuka mata dan kesadaran sahabatku ini.” Teriak Bima seketika.

Setelah membereskan segala buku yang tadi menumpuk mereka berdua mulai memesan makanan dan minuman. Tawa canda mulai mengalir tanpa henti Banyak tatapan mata iri yang menatap mereka. Bagaimana tidak? 

Bima dengan badan atletisnya yang tinggi putih dan kemampuannya memainkan gitar sungguh membuat wanita terpesona (kecuali Liona). Dan Liona, seorang gadis mungil dengan kulit sawo matang dan rambut ikal tak terlalu panjang yang ia ikat kebelakang dengan topi yang menambah kecantikannya. Mereka saling melengkapi, semua yang melihat beranggapan begitu.
“Hei dengarkan musik ini. Kau akan suka.” Tanpa basaa basi Bima menempelkan sebelah headsetnya ke telinga Liona dan yang satunya dijejalkan ke telingan Bima sendiri. Mereka berdua terdiam beberapa saat, saling menikmati musik dan kenyamanan caffe. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

“Bagaimana?” Suara itu berhasil mengagetkan Liona. “Hm ya?” “Musiknya.” “Oh ya tentu, itu sangat mengesankan, sepertinya si penulis membuat musik itu dengan hati yang tulus dan ditunjukan pada seseorang.” “Ya mungkin. Tapi kau berlebihan. Hahaha.” Jawab Bima. “Menyebalkan.” Gerutu Liona.

Sekitar 1 jam lebih mereka menghabiskan waktu dengan membahas segala hal. Dari hal yang paling penting sampai hal hal sepele yang sangat tak penting.

**Kantin****

Suara riuh dari anak anak berbagai kelas yang menikmati santapan mereka dengan tawa canda yang menghiasi. Tak berbeda dengan Liona dan Bima. Mereka menikmati setiap hal hal kecil yang terkadang menyita perhatian. Ledakan tawa tak pernah terhentikan.

“Liona.” Suara itu sontak menghantikan tawa Bima dan Liona. “Ya Kris? Ada apa?” “Nanti malam mau ke pasar malam bersamaku?” tanya Kris. Pertanyaat itu berhasil membuat hati Liona berdebar hebat. “Bagaimana?” “Oh ya. Tentu. Nanti malam? Jam berapa?” “Kita bertemu di sana saja ya. Jam 7.” “Oke.”

“Oh kau mengabaikan sahabat tertampanmu ini LAGI.” Gerutu Bima.

***Pasar Malam***

Gadis mungil dengan rambut yang diikat kebelakang sudah berada di tengah ramainya pasar malam. Senyumnya mengembang sedari tadi. Ia terus melirik jam yang ia kenakan.

“Oh aku datang terlalu awal rupanya. Tak apalah. Aku bisa berkeliling sebentar.”Liona pun mulai berjalan mengelilingi setiap sudut pasar malam. Sesekali ia mengabadikan dengan kamera yang ia bawa. Tak lupa ia terus mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Gemerlap lampu yang tadi menghiasi pasar malam sudah mulai redup satu persatu seiring dengan jarum jam yang menunjukkan tengah malam.

“Apakah dia benar benar tidak datang?” tanya Liona menerka. “Tidak. Dia pasti datang. Mungkin dia ada halangan. Aku akan menunggunya disini.” Kata Liona mantap.

Tetapi selang 1 jam hujan deras mulai turun. Semua orang sudah menutup lapak mereka. Liona masih tetap berdiri di tempatnya tadi. Ia tak bergeming sedikitpun.

Liona tak menikmati hujan malam ini. Biasanya ia akan menikmati hujan dengan secangkir latte hangat ditemani Bima yang selalu membuatnya tertawa. Dan sekarang? Ia hanya tertunduk menunggu dan terus menunggu.

Tiba tiba “LIONAAAA!” teriakan itu membuat senyum Liona mengembang lagi. Lona merasa tubuhnya ditarik dalam dekapan dada bidang dan menyebarkan harum X Limites yang sangat ia kenali.Tubuhnya terasa menghangat seketika. Hanya kenyamanan yang dapat ia rasakan.

Tak terasa air matanya mulai mengalir. ‘Mengapa bukan dia yang datang?’ Seketika tubuhnya terasa berat dan limbun seketika.

Saat membuka mata ia sudah berada di kamarnya. Kepalanya terasa pusing. Dan ketika ia mencoba mengingat kejadian sebelumnya hatinya masih terasa nyeri.

“Kau baik baik saja?” tanya lelaki dengan bau X Limites favoritnya. “Aku tak apa.” Seulas senym ia sunggingkan agar tak membuat cemas orang dihadapannya ini. “Kau bodoh. Mengapa masih menunggu jika dalam hatimu tau dia tak kan datang. Mengapa masih mau memaksakan keyakinanmu. Jangan sekali lagi kau dekati lelaki tak tau diri itu. Kau hanya menyiksa raga dan batinmu sendiri.” Kata Bima dengan amarah yang tak tertahankan. Liona hanya dapat memberika seulas senyum pada sahabatnya itu.  Ia tahu bahwa Bima dalam keadaan emosi yang tinggi.

***Kelas Kris***

BRAK!

Suara itu berhasil menciptakan keheningan di ruangan tersebut. Semua mata memandang lelaki yang baru saja memasuki ruang kelas. Tanpa basa basi lelaki yang akrab disapa Bima itu mendatangi Kris dan menyeretnya keluar ruangan.

Bima membawa Kris ke belakang sekolah. “Dasar tak tau diri. Apa maksudmu mengajak Liona ke pasar malam dan kau sendiri tak datang!” “Aku ada acara semalam Bim. Aku lupa mengabari Liona. Itu tak sengaja.” “Tak usah membual dengan segala alibimu. Kau melupakan Liona dan pergi bersama perempuan bernama Angela bukan?’ “Ya. Kau tahu itu?” seketika Kris terkejut.

“Ini untuk kejadian yang kau lakukan pada Liona.” Sebuah pukulan mendarat mulus di pipi Kris “Dan ini untuk mu yang berani mempermainkan sahabatku.” Satu pukulan lagi mendarat di perut Kris.

Tanpa berkata apa apa Bima langsung meninggalkan Kris yang tersungkur di tempat.

Beberapa hari kemudian terdengar kabar bawa Kris sudah menjalun hubungan dengan Angela. Berita itu berhasil menambah sesak di hati Liona.

***Ruang Kelas***

Suara goresan pena yang beradu di atas kertas menghiasi heningnya kelas. Teori teori yang mulai bermunculan mau tak mau harus dijejalkan ke otak setiap siswa.

“Bima. Bima. Bimaaaaa. BIMAAAAAA!” suara itu berhasil menyadarkan seorang lelaki yang terlelap di pojok kelas. “Ya?” jawab Bima. “Kau tak mendengarkan materi tadi sedikitpun?” tanya Liona heran. “Kau ini. Mengapa membangunkanku?” umpat Bima. “Ini sudah bel istirahat.” “Benarkah? Ohhh melegakan sekali rasanya.” “Mari ikut aku.” “Kemana?” Tanpa menjawab pertanyaan Bima, Liona langsung menarik tanganya.

Selang beberapa menit mereka sudah sampai di depan hamparah Dandelion. “Kenapa kesini?” tanya Bima heran. “Aku membutuhkan ketenangan.” Jawab Liona singkat. “Wah wah sahabatku yang satu ini benar benar frustasi ternyata.” Tawa Bima meledak.

Beberapa menit mereka saling berdiam diri dan merebahkan badan mereka di antara dandelion. Sungguh ketenangan tiada tara. Kala semua pikiran dapat menguap dengan sendirinya ditemani hembusan angin yang menentramkan.

Tiba tiba Liona berdiri dan berteriak keras sekali. “Kau gila ya.” Tanya Bima spontan. Tiba tiba air mata Liona mengalir tanpa ada yang memerintahkan. Ia terisak hebat.

Ini bukan seperti Liona yang Bima kenal selama ini. Liona yang biasanya ceria. Walau tahu Kris memiliki kekasih, ia tetap tersenyum dan membuat banyak orang tertawa. Tak sedikitpun terlihat kesedihan yang memancar dari bola matanya.

Bima benar benar terkejut dengan tingkah Liona. Ini pertama kalinya ia melihat Liona sesesak itu. Tanpa berpikir panjang Bima langsung menarik tubuh Liona kedalam dekapannya dan membiarkan Liona menumpahkan segala rasa yang ada.

Tangisnya kali ini terdengar seperti erangan rasa sakit yang selama ini ia pendam dalam dalam. Semuanya meluap tak terhentikan. Bima hanya diam menunggu Liona menyelesaikan tangisnya. Bima membiarkan Liona beradu dengan air mata dan gejolak yang ada pada hatinya.

Selang beberapa menit Liona sudah melonggarkan pelukannya dalam dada Bima. Ia sudah bisa menenangkan diri dan menikmati hembusan angin di hamparan Dandelion ini.

"Sudah merasa baik?” tanya Bima hati hati. Hanya anggukan kecil yang di tunjukan Liona, tetapi itu sedah membuat hati Bima jauh lebih baik.

Bima langsung mengambil gitar dan memainkannya di hadapan Liona. Liona terkesima dengan musik yang dimainkan Bima. Ia benar benar mendalami setiap detail petikan yang Bima lakukan. Tubuhnya terasa tenang dan pendengaranya takjub.

“Musik apa itu?” Tanya Liona saat Bima sudah selesai memainkan gitarnya. Bima tak menjawab, ia hany mengeluarkan buku tipis berjudul “CONFESSION.” Kali ini Liona benar benar terkejut.”Bagaimana kau....?” “Aku selalu tahu apapun tentangmu.” Jawab Bima sombong.

Bima menempelkan kedua tangannya ke wajah Liona dan berkata “Jangan pernah menangisi orang yang tak pantas untukmu. Air matamu terlalu mahal untuk itu. Tetap jadi seperti benih Dandelion.  Mereka terlihat sangat rapuh, namun sangat kuat, sangat indah, dan memiliki arti yang dalam. Kuat menentang angin, terbang tinggi menjelajah angkasa, dan akhirnya hingga di suatu tempat untuk tumbuh menjadi kehidupan baru. Itulah kau. Harus makin tangguh dan kuat dalam mengahadapi apa yang akan kau tempuh kedepannya.” Seulas senyum tulus terukir dari bibir Bima. Ia memberikan dekapan yang sangat berarti bagi Liona.


TAMAT.