‘Oh dia begitu luar biasa disana. Setiap gebukan
dram nya membuat ku terpesona.’
“Liona apa yang
kaulakukan? Jangan memandanginya seperti itu. Kau payah.” Suara itu lagi lagi
mengganggu Liona disaat yang tidak tepat. “Bima! Kau ini selalu saja
menggangguku. Aku tak memandanginya. Aku melihat yang lain juga.” Alibi Liona
dengan cepat.
“Dasar payah!
Memandanginya dari jauh tak kan membuat dia melihatmu. Kau berada diantara
ribuan gadis yang menantinya.” Celoteh Bima.“Aku tak menantinya. Lagi pula
siapa yang kau maksud?” “Bodoh. Siapa lagi kalau bukan...... KRIS NA? Hahahaha”
“Bimaaaaaa. Sudah ku bilang. Aku tak menyukainya.” Jawab Liona kesal. “Hei
gadis idiot. Nenek nenek buta pun tahu kau menyukainya.” Ucap Bima sambil mencubit
kedua pipi Liona. “Kubilang tidak ya tidak!” “Iya.” “Tidak.” “Iya.” “Tidaaaaaak......”
“Liona.”
‘Suara itu? Aku mengenalinya.’ Detik itu
juga Liona menghentikan pertengkarannya dengan Bima dan menolehkan kepala.
Sontak ia pun terkejut bukan main.
“Oh hay. Kris.”
Hanya itu yang keluar dari mulut Liona. “Bagaimana penampilanku tadi
menurutmu?” “Kau selalu mengesankan bukan? Hahaha.” “Aku tak sehebat itu.”“Ekhem. Ekhem.
Bima permisi dulu ya nona, tuan. Selamat menikmati malam indah bertabur
bintang.” Celoteh Bima dan pergi begitu saja.
“Bima salah
makan atau bagaimana?” tanya Krisna. “Biarkan saja. Otaknya sudah geser.
Sudahlah abaikan saja dia. Bukannya dia selalu seperti itu?” Jawab Liona sebal.
“Hahaha ya. Kau benar.”
*** Ruang
Musik***
“Liona.
Sepertinya kau ada masalah dengan Bima?” tanya Kris setelah Liona masuk ke
ruang musik.“Ya tentu. Bima memang menjengkelkan.” Jawab Liona kesal.
Tiba tiba. Kris
menyerahkan stik drum kepada Liona. “Ambillah.” Ucap Kris.“Untuk apa? Aku tak
bisa memainkan drum.” Jawab Liona. “Kau pukul saja drum ini sesukamu, dan
keluarkan semua amarahmu. Lampiaskan hingga semuanya hilang.” Kata Kris sambil
tersenyum. “Kau yakin?” kata Liona ragu. “Tak ada yang tahu kalau kau tak
mencobanya.”
Detik itu juga
Liona mulau menuangkan segala amarahnya dan memukul drum tersebut tanpa
ritme.Beberapa menit kemudian Liona sudah berhenti memukul drum tersebut.
Nafasnya mulai menderu tak beraturan.
“Bagaimana?” tanya
Kris. “Hosh. Hosh. Lebih baik.” Jawab Liona sambil mengatur nafasnya.“Asal kau
tau saja. Aku selalu melakukan itu saat aku marah, sedih, dan semua perasaan
yang tak jelas. Dari sini aku menemukan ketenangan. Semuanya terasa lepas. Aku
merasa seperti dilahirkan kembali.” Kata Kris sambil melihat ke arah jendela
dan memandang mentari di sana.
“Wah kau
mengajarkanku hal baru Kris. Aku tak pernah sekalipun mencoba drum. Ini kali
pertamaku.” Jawab Liona. “Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan saat sedih atau
marah?” tanya Kris heran.
“Melihat hamparan Dandelion.” Jawab
Liona ceria. “Dadelion? Apa yang kau dapatkan dari tanaman rapuh itu?” “Sesuatu
yang tak pernah kau dapatkan.” Kata Liona percaya.“Oh baiklah.
Liona aku mau menyanyikan satu lagu untukmu.” Kata Kris tiba tiba. “Sungguh?”
Tak tau kenapa pipi Liona memerah.
Musik yang
dimainkan : Bryant Adams-Heaven
***Rumah
Liona***
“Hay booooo.”
Sapa seseorang memasuki kamar Liona. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Liona
kesal. “Wah putri idiot ini masih saja kesal ternyata.” Ucap Bima sambil
menyalakan TV dan mulai memakan snack yang ada. “Terserah kau saja lah.” Liona
tak mau merusak moodnya. “Kau sedang bahagia bukan? Kau tak mau membagikannya pada sahabat
tertampanmu ini?” “Baiklah. Aku memang tak dapat menyembunyikan apapun darimu.
Tadi di Ruang Musik Kris menyanyikanku lagu Heaven. Oh dia terlihat mempesona.”
“Oh.” Jawab Bima.
PLAK!!
Sebuah bantal
mendarat mulus di kepala Bima. “Kau ini kenapa si?” tanya Bima. “Bisakah kau
tidak merusak moodku?” Liona merasa sebal. “Hahaha baiklah.”
Tiba tiba Bima
memegang tangan Liona.
“Kau boleh
mencintai siapapun. Kau boleh bersama siapapun. Tapi mantapkan siapa pilihanmu.
Kalau kau ada apa apa bilang saja padaku. Jangan pernah sungkan. Walau kau
kelak melupakanku dan asik dengan pacarmu. Aku tetap berdiri disini. Kembalilah
kapanpun kau mau. Jika kau jatuh. Aku akan membangkitkanmu lagi.” Kata Bima
Tak terasa air
mata Liona mulau mengalir. Liona memeluk Bima dan menuangkan segala persaannya
di pundak Bima.
“Hai. Kau harus
kuat. Kau wanita hebat. Jadi jangan sia siakan air matamu. Ayolah kita main
game saja. Aku senang melihatmu kalah.” Ucap Bima sambil membersihkan air mata
di pipi Liona.
Detik
selanjutnya Bima sudah memedang stick PS nya dan bersiap memulai permainan.
“Bima.” Kata Liona tiba tiba. Sontak Bima menoleh “Ya?” “Terimakasih.” “Untuk
apa?” tanya Bima heran. “Untuk semua yang kau lakukan.” Seulas senyum tulus
terlukis di bibir Liona.
“Tak usah
berlebihan seperti itu. Aku juga tak sadar bagaimana bisa berkata seperti itu.
Harusnya tadi kau rekam ucapanku, agar mamaku bisa tahu bahwa anak tertampannya
ini juga bisa berbicara serius. Hahaha.” Cengir Bima mengembang. Bagi Liona
moment seperti ini adalah moment paling menyebalkan. Moment saat Bima merusak
segala nya. Bima selalu membuat moment manis hancur begitu saja.
Tapi tetap saja.
Apapun yang dilakukan Bima sudah pasti membuat Liona bahagia.
***Perpustakaan***
Waktu terasa
berjalan dengan cepat, tak terasa sebentar lagi Liona akan menghadapi Ujian
Kelulusan. Sudah sepekan Liona tak pernah absen dari Perpustakaan. Ntah berapa
buku yang sudah ia baca, ntah berapa teori yang sudah ia jejalkan ke otaknya.
Langkah kaki
Liona menuntunya kearah buku buku tebal tentang musik. Ntah apa yang ada di
otak Liona sekarang, tetapi ia benar benar butuh hiburan. Tangannya terus
menelusuri setiap buku, matanya tak berhenti membaca setiap judul buku yang ia
jumpai.
Tiba tiba
matanya terhenti karena sebuah buku tipis kecil dengan judul “CONFESSION.”
Bukunya terlihat buruk, sangat tidak terawat. Ntah mengapa hati Liona
menginginkan buku itu. Tanpa berfikir dua kali ia membuka bukunya halaman demi
halaman. Ternyata isinya instrumen instrumen dari lagu Confession. Tak hanya
instrumen piano, ada juga gitar, suling, dan lainnya.
Ntah mengapa
saat melihat buku itu hati Liona ingin sekali mendengar musiknya. Tapi ia
saar, tak satupun alat musik yang ia kuasai. Akhirnya Liona mengembalikan
buku tadi dan beranjak pulang.
Tanpa disadari
sepasang bola mata berwarna cokelat terang mengawasinya sedari tadi. Saat Liona
keluar dari perpustakaan si pemilik mata indah itu langsung mengambil buku yang sempat dipegang Liona dan meminjamnya.
***Caffe***
“Hei booooo.”
Sapa seorang lelaki yang ntah datang dari mana.“Oh Tuhan
bisakah kau membuat hidupku tenang walau sehari?” desah Liona pelan. “Nati kau
merindukanku.” Tawa jail Bima keluar.“Tidak akan.”
Jawab Liona penuh penekanan dan kembali membaca buku.
Tanpa meminta
izin dari Liona, Bima sudah duduk di samping Liona dengan jarak yang nyaris
tidak ada. Anehnya Liona sudah merasa biasa dengen tingkah Bima.
“Hufffttt.
Bisakah kau berhenti belajar sehari saja?” kata Bima sembari meletakkan buku
yang tadi dibaca Liona. “Bima kau tahu kan...” belum sempat Liona melanjutkan
pembicaraannya, Bima sudah berbicara terlebih dahulu. “Aku tahu Liona. Tenang
saja, aku tak kan lupa.”
“Oke untuk
sekarang aku tak membaca buku lagi.” Jawab Liona. “Sungguh? Oh Tuhan
terimakasih telah membuka mata dan kesadaran sahabatku ini.” Teriak Bima
seketika.
Setelah
membereskan segala buku yang tadi menumpuk mereka berdua mulai memesan makanan
dan minuman. Tawa canda mulai mengalir tanpa henti Banyak tatapan mata iri
yang menatap mereka. Bagaimana tidak?
Bima dengan badan atletisnya yang tinggi
putih dan kemampuannya memainkan gitar sungguh membuat wanita terpesona
(kecuali Liona). Dan Liona, seorang gadis mungil dengan kulit sawo matang dan
rambut ikal tak terlalu panjang yang ia ikat kebelakang dengan topi yang
menambah kecantikannya. Mereka saling melengkapi, semua yang melihat
beranggapan begitu.
“Hei dengarkan
musik ini. Kau akan suka.” Tanpa basaa basi Bima menempelkan sebelah headsetnya
ke telinga Liona dan yang satunya dijejalkan ke telingan Bima sendiri. Mereka berdua
terdiam beberapa saat, saling menikmati musik dan kenyamanan caffe. Mereka
berdua sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
“Bagaimana?”
Suara itu berhasil mengagetkan Liona. “Hm ya?” “Musiknya.” “Oh ya tentu, itu
sangat mengesankan, sepertinya si penulis membuat musik itu dengan hati yang
tulus dan ditunjukan pada seseorang.” “Ya mungkin. Tapi kau berlebihan. Hahaha.”
Jawab Bima. “Menyebalkan.” Gerutu Liona.
Sekitar 1 jam
lebih mereka menghabiskan waktu dengan membahas segala hal. Dari hal yang
paling penting sampai hal hal sepele yang sangat tak penting.
**Kantin****
Suara riuh dari
anak anak berbagai kelas yang menikmati santapan mereka dengan tawa canda yang
menghiasi. Tak berbeda dengan Liona dan Bima. Mereka menikmati setiap hal hal
kecil yang terkadang menyita perhatian. Ledakan tawa tak pernah terhentikan.
“Liona.” Suara
itu sontak menghantikan tawa Bima dan Liona. “Ya Kris? Ada apa?” “Nanti malam
mau ke pasar malam bersamaku?” tanya Kris. Pertanyaat itu berhasil membuat hati
Liona berdebar hebat. “Bagaimana?” “Oh ya. Tentu. Nanti malam? Jam berapa?”
“Kita bertemu di sana saja ya. Jam 7.” “Oke.”
“Oh kau
mengabaikan sahabat tertampanmu ini LAGI.” Gerutu Bima.
***Pasar
Malam***
Gadis mungil
dengan rambut yang diikat kebelakang sudah berada di tengah ramainya pasar
malam. Senyumnya mengembang sedari tadi. Ia terus melirik jam yang ia kenakan.
“Oh aku datang
terlalu awal rupanya. Tak apalah. Aku bisa berkeliling sebentar.”Liona pun mulai
berjalan mengelilingi setiap sudut pasar malam. Sesekali ia mengabadikan dengan kamera yang ia bawa. Tak lupa ia terus mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan
tangannya.
Gemerlap lampu
yang tadi menghiasi pasar malam sudah mulai redup satu persatu seiring dengan jarum
jam yang menunjukkan tengah malam.
“Apakah dia
benar benar tidak datang?” tanya Liona menerka. “Tidak. Dia pasti datang.
Mungkin dia ada halangan. Aku akan menunggunya disini.” Kata Liona mantap.
Tetapi selang 1
jam hujan deras mulai turun. Semua orang sudah menutup lapak mereka. Liona masih
tetap berdiri di tempatnya tadi. Ia tak bergeming sedikitpun.
Liona tak
menikmati hujan malam ini. Biasanya ia akan menikmati hujan dengan secangkir
latte hangat ditemani Bima yang selalu membuatnya tertawa. Dan sekarang? Ia
hanya tertunduk menunggu dan terus menunggu.
Tiba tiba
“LIONAAAA!” teriakan itu membuat senyum Liona mengembang lagi. Lona merasa
tubuhnya ditarik dalam dekapan dada bidang dan menyebarkan harum X Limites yang
sangat ia kenali.Tubuhnya terasa menghangat seketika. Hanya kenyamanan yang
dapat ia rasakan.
Tak terasa air
matanya mulai mengalir. ‘Mengapa bukan
dia yang datang?’ Seketika tubuhnya terasa berat dan limbun seketika.
Saat membuka
mata ia sudah berada di kamarnya. Kepalanya terasa pusing. Dan ketika ia
mencoba mengingat kejadian sebelumnya hatinya masih terasa nyeri.
“Kau baik baik
saja?” tanya lelaki dengan bau X Limites favoritnya. “Aku tak apa.” Seulas
senym ia sunggingkan agar tak membuat cemas orang dihadapannya ini. “Kau bodoh.
Mengapa masih menunggu jika dalam hatimu tau dia tak kan datang. Mengapa masih
mau memaksakan keyakinanmu. Jangan sekali lagi kau dekati lelaki tak tau diri
itu. Kau hanya menyiksa raga dan batinmu sendiri.” Kata Bima dengan amarah yang
tak tertahankan. Liona hanya dapat memberika seulas senyum pada sahabatnya
itu. Ia tahu bahwa Bima dalam keadaan
emosi yang tinggi.
***Kelas Kris***
BRAK!
Suara itu
berhasil menciptakan keheningan di ruangan tersebut. Semua mata memandang
lelaki yang baru saja memasuki ruang kelas. Tanpa basa basi lelaki yang akrab
disapa Bima itu mendatangi Kris dan menyeretnya keluar ruangan.
Bima membawa
Kris ke belakang sekolah. “Dasar tak tau diri. Apa maksudmu mengajak Liona ke
pasar malam dan kau sendiri tak datang!” “Aku ada acara semalam Bim. Aku lupa
mengabari Liona. Itu tak sengaja.” “Tak usah membual dengan segala alibimu. Kau
melupakan Liona dan pergi bersama perempuan bernama Angela bukan?’ “Ya. Kau
tahu itu?” seketika Kris terkejut.
“Ini untuk kejadian yang kau lakukan pada Liona.” Sebuah pukulan
mendarat mulus di pipi Kris “Dan ini untuk mu yang berani mempermainkan
sahabatku.” Satu pukulan lagi mendarat di perut Kris.
Tanpa berkata
apa apa Bima langsung meninggalkan Kris yang tersungkur di tempat.
Beberapa hari
kemudian terdengar kabar bawa Kris sudah menjalun hubungan dengan Angela.
Berita itu berhasil menambah sesak di hati Liona.
***Ruang Kelas***
Suara goresan
pena yang beradu di atas kertas menghiasi heningnya kelas. Teori teori yang
mulai bermunculan mau tak mau harus dijejalkan ke otak setiap siswa.
“Bima. Bima.
Bimaaaaa. BIMAAAAAA!” suara itu berhasil menyadarkan seorang lelaki yang
terlelap di pojok kelas. “Ya?” jawab Bima. “Kau tak mendengarkan materi tadi
sedikitpun?” tanya Liona heran. “Kau ini. Mengapa membangunkanku?” umpat Bima.
“Ini sudah bel istirahat.” “Benarkah? Ohhh melegakan sekali rasanya.” “Mari
ikut aku.” “Kemana?” Tanpa menjawab pertanyaan Bima, Liona langsung menarik
tanganya.
Selang beberapa
menit mereka sudah sampai di depan hamparah Dandelion. “Kenapa kesini?” tanya
Bima heran. “Aku membutuhkan ketenangan.” Jawab Liona singkat. “Wah wah
sahabatku yang satu ini benar benar frustasi ternyata.” Tawa Bima meledak.
Beberapa menit
mereka saling berdiam diri dan merebahkan badan mereka di antara dandelion.
Sungguh ketenangan tiada tara. Kala semua pikiran dapat menguap dengan
sendirinya ditemani hembusan angin yang menentramkan.
Tiba tiba Liona
berdiri dan berteriak keras sekali. “Kau gila ya.” Tanya Bima spontan. Tiba
tiba air mata Liona mengalir tanpa ada yang memerintahkan. Ia terisak hebat.
Ini bukan
seperti Liona yang Bima kenal selama ini. Liona yang biasanya ceria. Walau tahu
Kris memiliki kekasih, ia tetap tersenyum dan membuat banyak orang tertawa. Tak
sedikitpun terlihat kesedihan yang memancar dari bola matanya.
Bima benar benar
terkejut dengan tingkah Liona. Ini pertama kalinya ia melihat Liona sesesak
itu. Tanpa berpikir panjang Bima langsung menarik tubuh Liona kedalam
dekapannya dan membiarkan Liona menumpahkan segala rasa yang ada.
Tangisnya kali
ini terdengar seperti erangan rasa sakit yang selama ini ia pendam dalam dalam.
Semuanya meluap tak terhentikan. Bima hanya diam menunggu Liona menyelesaikan
tangisnya. Bima membiarkan Liona beradu dengan air mata dan gejolak yang ada
pada hatinya.
Selang beberapa
menit Liona sudah melonggarkan pelukannya dalam dada Bima. Ia sudah bisa
menenangkan diri dan menikmati hembusan angin di hamparan Dandelion ini.
"Sudah merasa
baik?” tanya Bima hati hati. Hanya anggukan kecil yang di tunjukan Liona,
tetapi itu sedah membuat hati Bima jauh lebih baik.
Bima langsung
mengambil gitar dan memainkannya di hadapan Liona. Liona terkesima dengan musik
yang dimainkan Bima. Ia benar benar mendalami setiap detail petikan yang Bima
lakukan. Tubuhnya terasa tenang dan pendengaranya takjub.
“Musik apa itu?”
Tanya Liona saat Bima sudah selesai memainkan gitarnya. Bima tak menjawab, ia
hany mengeluarkan buku tipis berjudul “CONFESSION.” Kali ini Liona benar benar
terkejut.”Bagaimana kau....?” “Aku selalu tahu apapun tentangmu.” Jawab Bima
sombong.
Bima menempelkan
kedua tangannya ke wajah Liona dan berkata “Jangan pernah menangisi orang yang
tak pantas untukmu. Air matamu terlalu mahal untuk itu. Tetap jadi seperti
benih Dandelion. Mereka
terlihat sangat rapuh, namun sangat kuat, sangat indah, dan memiliki arti yang
dalam. Kuat menentang angin, terbang tinggi menjelajah angkasa, dan akhirnya
hingga di suatu tempat untuk tumbuh menjadi kehidupan baru. Itulah kau. Harus makin tangguh dan kuat
dalam mengahadapi apa yang akan kau tempuh kedepannya.” Seulas senyum tulus
terukir dari bibir Bima. Ia memberikan dekapan yang sangat berarti bagi Liona.
TAMAT.