Jumat, 26 Oktober 2018

Djiwa


Detik itu tangan kita masih saling menggenggam. Di sudut bangku percakapan hangat masih mengalir. Ditemani bau patrikor yang selalu menjadi hal yang paling kusuka.

Kau menyambutku. Melalu tatapan hangatmu, aku hanya ingin selalu didekatmu. Aku merasa aman. Aku merasa jiwa rentan ini menemukan penopangnya. Dan jiwa kokohmu membutuhkan kehangatan kecil dariku. Kupikir semua akan baik baik saja jika kita bersama.

Sampai pada detik berikutnya semua kacau. Laksana badai yang menghujam. Semua berjalan begitu cepat. Sampai tanpa kusadari kehangatan kita mulai pudar.

Aku melihat darah di jiwamu. Kupikir jiwa sekokoh itu saja bisa rusak. Lantas aku memutuskan bercermin. Ku pandangi jiwaku dari atas hingga bawah. Tanpa melihat detailnya. Djiwaku juga rusak. Parah. Terkoyak. Menyisakan sejumput penopang yang kupikir sebentar lagi juga akan lenyap.

Aku melihatmu menangis. Sejujurnya aku juga menangis tak kalah hebat. Tapi demi melihat tangismu aku mulai mencoba tersenyu. Kita sama sama terluka. Kita sama sama rentan. Kita sama sama tergoncang. Hancur lebur. Semua kehangatan tadi sirna dalam hitungan detik. Badai itu terlampau kuat. Sungguh kejam menyayat.

Dengan sisa penopang jiwa, kuputuskan untuk menghampirimu. Menanyakan kabarmu. Menghiburmu sebisaku. Dan perlahan ku kirim sinyal kehangatan padamu.

Sejujurnya jiwa rapuh ini juga menginginkan kehangatan. Sungguh. Tapi yang kudapat hanya pengabaian. Kutatap dirimu. Kau menangis meratapi lukamu. Tak sekalipun kau menatapku yang jauh terkoyak. 

Aku terlampau takut menegurmu. Badai itu bukan salahku. Tapi kenapa harus aku yang bertanggung jwab atas semuanya. Atas lukamu dan atas lukaku. Atau aku ujuga harus bertanggung  jawab atas luka jiwa yang lain?

Kuharap kau memandangku walau sepintas. Setidaknya kita bisa sama sama membantu untuk berdiri. Bukan hanya kau yang membantuku atau aku yang membantumu. Tapi bantulah jiwa rapuhku untuk menemukan sandarannya lantas ku alirkan kehangatan pada jiwa kokohmu. 

Kupikir dengan begitu kita bisa kuat bersamna. Aku tak akan memaksamu. Mungkin ini memang hukuman Tuhan untukku. Dosaku terlampai banyak. Jadi aku akan menerimanya.


Dunia begitu kejam. Semua menuntut untuk dapat dipahami. Dan aku terlampau lelah untuk menjawab pertanyaan diri. Aku tak ingin pulang. Aku hanya ingin lari. Lari sampai semua tertinggal dibelakang. Lantas aku bisa menyebutnya kenangan. Bisakah kau membantuku? Atau harus aku yang mati matian berlari sembari menyeretmu? Atau aku......

harus berlari sendiri?

Sabtu, 28 April 2018

ADA

Ada yang sekarang sedang tersenyum bahagia karena menatap sang pujaan hati. Ntah itu arti bahagia yang sesungguhnya atau dalam tanda kutip.

Ada yang sekarang sedang menahan rindu tapi enggan bercerita. Alasanya karena takut mengganggu.

Ada yang sekarang sedang merasa dibohongi tapi tetap tersenyum. Alasannya karena berfikir positif.

Ada yang sekarang sedang setia menatap ponsel untuk menunggu kabar walau tau pesannya tak kan pernah datang.

Ada yang sekarang sedang tertawa getir menertawakan dirinya sendiri, karena bertahan dalam ketidak mungkinan. Tetapi tetap menyebut namanya dalam sujud sepertiga malam.

Ada yang masih mencoba sekuat tenaga untuk menggenggam erat, walau yang disana meronta untuk dilepas.

Ada yang sekarang sedang mati matian menurunkan ego dari hati kecilnya, dengan alasan takut kehilangan.

Ada yang sekarang sedang merasa tak penting karena ucapannya tak di indahkan. Tapi tetap banyak ucap. Katanya demi kebaikan.

Ada yang sekarang sedang mempertanyakan pada diri sendiri. Pantaskah memperjuangkan? Pantaskah memaafkan? Lantas kapan bisa merasakan diperjuangkan?

Ada yang sekarang sedang membaca tulisan ini merasa bahwa semuanya benar. Tapi lagi lagi ia tetap berjuang. Dengan alasan sayang? Dengan alasan cinta? Dengan alasan perjuangan? Dengan alasan takut kehilangan? Atau dengan alasan ia terlalu bodoh!

Banyak yang sudah berjuang mati matian tapi tetap tak dipandang. Kurasa yang lain lebih menarik perhatian. Atau kau membosankan. Bisa jadi memang pasanganmu bukan orang setia.

Setia dan bodoh itu jangan disamakan. Kalau kau berjuang untuk bersama seharusnya pasanganmu juga. Kalau hanya satu yaaaa....

Lihat saja sejauh mana hubungan kalian.

Rabu, 14 Februari 2018

Teruntuk Peltu Kesayanganku

Sekarang kita dapat dengan tenang menatap cakrawala. Menikmati deburan ombak di pantai. Bersenandung riang tanpa beban. Kau tau berkat siapa. Para pejuang Tanah Air tentunya. Mereka dengan gagah mengusir penjajah. Tak memikirkan keselamatan diri sendiri yang utama hanyalah NKRI. Kali ini aku berkisah tentang salah satu tentara berpangkat PELTU kesayanganku.

Beliau tentara paling gagah yang pernah ku kenal. Beliau tentara paling jujur yang kisahnya selalu ku kagumi. Aku mengenalnya dari saat aku hanya bisa terlentang. Di tengah tubuh lemahku ia alirkan kasih sayang yang tak terbatas.

Hanya sedikit memori yang dapat kuingat. Sepeda tua dan selendang, paket yang tak dapat terpisahkan. Suara seraknya yang selalu terngiang di otakku. Tubuh gempalnya yang memelukku ketika aku datang. Garis wajahnya yang jelas menandakan seorang pejuang. Dan otot kuatnya yang selalu ku dambakan untuk bersandar.

Beliau lahir jauh sebelum Indonesia mengikrarkan kemerdekaan. Saat Belanda dan Jepang masih menduduki bumi pertiwi. Saat itu beliau sudah mengangkat senjata. Berpangkat PELTU di pundaknya. Senjata favoritnya adalah BRAND (aku tak tau bagaimana menuliskannya).

Beliau tak mau berada di barisan belakang. Ia selalu berada paling depan para pasukan. Mengangkat senjata dengan membabi buta. Terkadang pasukan di belakangnya sudah berjalan mundur. Tapi ia masih tetap lari ke depan, karena ia tak mendengar teriakan rekannya. Sampai akhirnya beliau sadar bahwa semuanya sudah jauh ke belakang. Sungguh aku tak paham lagi dengan semangatnya.

Beliau orang paling lugu dan bersih. Kau tau kenapa? Karena saat jaman penjajahan dulu ada saja tentara nakal. Malam hari ia sedang membersikan senjata kesayangannya. Tiba tiba ada salah satu rekan yang meminjam senjatanya, beralasan bahwa senjata miliknya macet. Beliau meminjamkan. Pagi harinya senjata itu kembali ke tangan si pemilik. Tapi ada yang salah. Dalam wadah peluru terdengar bunyi yang asing. Setelah dibuka, ada 5 berlian di dalamnya.
\
Yang mengejutkan lagi, beliau kembalikan semua berlian itu kepada peminjam senjata semalam. Beliau bilang tidak butuh. Tak satupun diambil. Padahal menurut rekannya itu sudah jatah karena meminjamkan senjata. Tapi mau bagaimana lagi. Ia menolak.

Jiwa nasionalismenya membara tak terkalahkan. Beliau anti Belanda. Juga anti Jepang. Walau Indonesia sudah merdeka. Walau beliau sudah pensiun dari tugas kenegaraannya. Tapi mau bagaimana lagi. Rasa benci sudah mendarah daging.

Bahkan ada kalimat mengerikan yang beliau ucapkan pada adik semata wayangnya. Adiknya bekerja di bawah naungan Belanda. Tapi saat itu Indonesia belum merdeka. Beliau berkata "Aku tak mau tau. Sekali aku sedang patroli dan aku bertemu kau dalam rombongan Belanda. Ku tembak kau. Karena saat itu kau ku anggap musuh. Bukan adikku." Kakak mana yang mempu mengucapkan hal sekejam ini pada adiknya selain Beliau.

Beliau memiliki banyak keahlian selain menggunakan senjata BRAND tadi, Beliau juga mahir dengan pedang dan pisau. Sekali saja ditebas. Jangan harap kau bisa lolos. Bisa bisa mati kau ditangannya.

Beliau sangat membenci orang yang tak menghargai para pejuang. Orang yang menghirup udara Indonesia dengan seenaknya tanpa peduli dengan pahlawan maka akan di bentaknya. Orang paling keras kepala. Orang yang teguh dalam prinsipnya. Tak ada yang beliau takuti. Bahkan pada komandan sendiri saja jika komandan salah akan ditegurnya.

Oh ada satu kisan lagi tentang kejujurannya. Saat itu Beliau menggantikan rekannya berjaga di sebuah jembatan. Berbagai macam truk dengan muatan melewati jalan tersebut. Dan selalu memberikan upeti. Tapi Beliau yang menerima upeti tak pernah mengambilnya barang 1 perak. Semua ia serahkan pada komandannya. Hingga sang komandan bingung karena upeti biasanya tak sebanyak itu. Lihat, betapa polos dan lugunya tentara kesayanganku ini.

Aku tak pandai mendeskripsikan ke gagahan beliau dalam berperang. Yang ku ingat hanya wajah tua sayunya yang selalu tersenyum memandangku. Mengecup keningku.Dan mengelus lebut puncak kepalaku. Tapi sekarang aku sadar bahwa di balik usia tuanya beliau memiliki ketegasan yang siapapun tak memilikinya.

Seantero Nusantara pernah ditelusuri olehnya. Banyak yang bertanya kenapa pangkatnya hanya PELTU? Karena pangkat menurut Beliau tak penting. Yang penting hanyalah bagaimana caranya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan ketulusan hati. Jiwa nasionalisme yang suci selalu memenuhi setiap tarikan napasnya. Kalau kau tanya berapa senjata yang pernah bersarang di tubuhnya, jawabannya TAK ADA SATUPUN.

Sekarang, Beliau sudah tidur tenang di pelukan bumi pertiwi. Beliau sudah menyerahkan amanah selanjutnya pada pemuda Indonesia. Ku harap suatu saat aku dapat bertemu dengan pemuda se-lugu dan se-tegas Beliau.

Beliau telah enghembuskan nafas terakhirnya dengan damai tanpa rasa sakit. Karena aku ingat betul. Saat itu menjelang subuh, ku buak mata dan aku berada di dalam mobil. Yang ku ingat hanya nasihat yang berbunyi "Jangan menangis." Ku kira semua mimpi. Tapi mataku menatap sosok Beliau yang sudah terbujur kaku di atas dipannya. Semuanya penuh tangis. Bapakku yang bahkan tak pernah menangis kali itu menangis dengan cukup keras. Ini kali kedua Bapak menangis.

Tugasnya telah usai. Kali ini Beliau tak dapat lagi memarahi pemuda yang menginjak injak NKRI. Beliau benar benar telah menyerahkan tanggung jawabnya. Kalian harus ingat namanya. Beliau bernama SOEBAKIR. Berpangkat PELTU. Dan Beliau adalah kakek terhebatku. Milikku. Camkan itu.

Sekarang biarkan tulisan ini menjadi kenangan yang abadi. Ku abadikan sosoknya dalam tulisan sederhanaku. Semoga kalian dapat membayangkan sosok Beliau.Ini penghormatan terakhir dari salah satu cucunya.