Sabtu, 01 Agustus 2020

AKU MELEPASMU.


Bertemu dengan mu bagai keajaiban yang Tuhan berikan. Mengenalmu bagai lentera kehangatan. Sempat bersama denganmu merupakan kilau mutiara di dasar kegelapan. Bising diluar seakan mereda. Kerlip angkasa menabur dalam ingatan. Kamu sempurna. Aku ucapkan itu atas syukur yang kupanjatkan pada Tuhan.

Lalu aku sadar. Tuhan terlalu angkuh untuk menciptakan makhluk yang sempurna. Karena hanya Ia yang bisa dianggap paling sempurna. Kupikir Tuhan murka. Aku yang hanya setitik tinta ini terlalu bahagia diatas bumi Nya. Seolah aku adalah ciptaan yang paling beruntung.

Tiba tiba Tuhan menyibak tirai dihadapanku atas kamu. Kamu yang DULU aku anggap sebagai anugrah, berubah menjadi tumpukan sampah atas segala ucapan. Kamu yang DULU aku anggap menggenggam permata, ternyata kau suguhkan belati yang mengarah ke dada. Aku tersentak. Tak tau harus berucap apa selain “Tuhan sayang aku”.

Aku melepaskanmu. Aku memaafkanmu.  I love you, but you don't deserve me. And I’m letting you go because you wantt to. The problem is not about how i love you to much, but because i can’t be a home for you anymore.

Selasa, 18 Februari 2020

Kapas Pikiran


Ku tulis sajak tentang kegusaran. Buih buih pemikiran berdecak riuh dalam kegelapan. Ilusi tentang ketenangan menggantung dalam angan. Diri ini terasa angkuh dalam kerapuhan. Menuntut segala kebebasan untuk sebuah ketenangan. Menderu dalam duka lantas berhasrat untuk menyerukan kehilangan.

Aku. Bagai kerlip kunang yang linglung dengan ledakan warna petang. Menikmati musikalisasi kebencian dalam kesendirian. Beribu kali ku coba membungkus duka. Lalu ku coba  menatap dalam pejaman mata. Sendiri. Aku hilang tak terkendali.

Mungkin aku hanya penyair picisan dalam tulisan usang. Tak pantas terjamah oleh mata keangkuhan.Merasa bahwa Tuhan hanya menyiptakan fatamorgana kedamaian.  Berdalih bahwa semua dalam genggaman. Lantas ku sadari, yang ku genggam hanya bayangan.

Mencoba menarik segala kegusaran tetapi yang kudapat hanya goresan tajam. Bagai pikiran yang menyublim. Menyublim menjadi benda tajam yang menghujam. Mungkin besok, lusa, 1 bulan kedepan, 1 tahun kedepan atau entah kapan semua ini bisa ku anggap usai. Perasaan yang menyesakkan bagai nafsu birahi dengan halu berwarna warni.

Besok ku angkat topeng wajah favoit ku. Mungkin ini salah satu bentuk continue setiap duka. Menunggu sembuh tanpa kepastian. Menerima tanpa ketulusan. Lantas tersenyum dengan harapan....

Semoga esok sudut jiwaku membaik dalam kegaduhan.