Selasa, 22 Desember 2015

[Surat Cinta #3] Dari Mata untuk Lelaki itu.

Aku menatapnya. Lelaki dengan wajah yang tertutup asap rokok. Mengepulkan setiap asap rokok yang ia serap lalu dihembuskan perlahan. Sungguh sesuai irama kehidupan.

Tak luput dari ingatanku. Secangkir kopi panas menemaninya menghabiskan rokok di warung sederhana. Ya sederhana. Se-sederhana aku menatapnya. Menangkap setiap detail yang ada pada dirinya. 

Ia mengenakan jaket bercorak tentara dengan celana jeans biru serta sepatu kets berwarna putih. Rambut yang disisir kebelakang membuatnya terlihat lebih menarik. Membuatku harus benar benar mengingatnya. 

Sikapnya yang dingin begitu cocok dengan hawa di kota Bandung. Duduk dengan santai dan menatap setiap hal yang menarik menurutmu. 

Ntah bagaimana aku bisa begitu tertarik dengan lelaki sepertimu. Aku benci asap rokok. Tapi caramu menghembuskannya, membuatku begitu tertarik dengan tingkah lakumu. 

Oh aku melupakan satu hal. Kau membawa wadah kertas sketsa panjang yang membuatku begitu penasaran. Sikap hati hatimu menunjukan bahwa itu begitu penting. Matamu tak luput mengawasi benda itu. Sedangkan aku? Tak luput mengawasi setiap gerak gerik yang kau ciptakan.

Bandung dingin ya. Sedingin sikapmu yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Tapi sayang, asap kopi itu menyebarkan bau harum yang menghangatkan matamu. Kau tak sedingin yang ku bayangkan. 

Menyatunya asap rokok dan uap kopi itu menghangatkan pandangan mu. Membuatku makin penasaran dan ingin selalu mengintip setiap detal mengenaimu. 

Membiarkan hal hal yang tak terduga menyatu dan menghangatkan mu dalam sekejap. Seperti uap kopi dan asap rokok itu. Aku masih menunggu apa ada yang lain yang bisa membuatmu tak terlihat sedingin itu?

Tatapan matamu yang tajam bagai elang menggetarkan hati setiap mata yang berani menatap. Begitu juga aku. Begitu gemetar tak tertahankan.

Nyatanya? Itu hanya gertakan. Tirai tebal yang menghadangmu mudah untuk di sibakkan. Sangat mudah. Hingga kau tak sadar jika hal hal kecil berhasil membuka tirai itu dan membiarkan ku menatap yang sesungguhnya. 

Sungguh, aku berterimakasih. Berterima kasih kepada uap kopi yang amat ku suka dan asap rokok yang kubenci. Jika kalian menyatu, semuanya akan selaras. Membentuk suatu kekuatan yang sangat berarti. 

Untuk lelaki itu. Terimakasih. Karna telah mengajarkanku bahwa semua tak seperti apa yang dilihat. Hanya bumbu bumbu manis yang menemani pengelihatan. Sisanya? Biarkan naluri alam yang menjelaskan.

3 komentar:

  1. Oh, ngeblog jg to.... Bagus sih. Cuma perlu sedikit konsisten dalam penggunaan sudut pandang obyeknya. Apakah orang kedua atau ketiga. The rest is pretty good. Keep writing ya....

    BalasHapus