Selasa, 22 Desember 2015

[Surat Cinta #3] Dari Mata untuk Lelaki itu.

Aku menatapnya. Lelaki dengan wajah yang tertutup asap rokok. Mengepulkan setiap asap rokok yang ia serap lalu dihembuskan perlahan. Sungguh sesuai irama kehidupan.

Tak luput dari ingatanku. Secangkir kopi panas menemaninya menghabiskan rokok di warung sederhana. Ya sederhana. Se-sederhana aku menatapnya. Menangkap setiap detail yang ada pada dirinya. 

Ia mengenakan jaket bercorak tentara dengan celana jeans biru serta sepatu kets berwarna putih. Rambut yang disisir kebelakang membuatnya terlihat lebih menarik. Membuatku harus benar benar mengingatnya. 

Sikapnya yang dingin begitu cocok dengan hawa di kota Bandung. Duduk dengan santai dan menatap setiap hal yang menarik menurutmu. 

Ntah bagaimana aku bisa begitu tertarik dengan lelaki sepertimu. Aku benci asap rokok. Tapi caramu menghembuskannya, membuatku begitu tertarik dengan tingkah lakumu. 

Oh aku melupakan satu hal. Kau membawa wadah kertas sketsa panjang yang membuatku begitu penasaran. Sikap hati hatimu menunjukan bahwa itu begitu penting. Matamu tak luput mengawasi benda itu. Sedangkan aku? Tak luput mengawasi setiap gerak gerik yang kau ciptakan.

Bandung dingin ya. Sedingin sikapmu yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Tapi sayang, asap kopi itu menyebarkan bau harum yang menghangatkan matamu. Kau tak sedingin yang ku bayangkan. 

Menyatunya asap rokok dan uap kopi itu menghangatkan pandangan mu. Membuatku makin penasaran dan ingin selalu mengintip setiap detal mengenaimu. 

Membiarkan hal hal yang tak terduga menyatu dan menghangatkan mu dalam sekejap. Seperti uap kopi dan asap rokok itu. Aku masih menunggu apa ada yang lain yang bisa membuatmu tak terlihat sedingin itu?

Tatapan matamu yang tajam bagai elang menggetarkan hati setiap mata yang berani menatap. Begitu juga aku. Begitu gemetar tak tertahankan.

Nyatanya? Itu hanya gertakan. Tirai tebal yang menghadangmu mudah untuk di sibakkan. Sangat mudah. Hingga kau tak sadar jika hal hal kecil berhasil membuka tirai itu dan membiarkan ku menatap yang sesungguhnya. 

Sungguh, aku berterimakasih. Berterima kasih kepada uap kopi yang amat ku suka dan asap rokok yang kubenci. Jika kalian menyatu, semuanya akan selaras. Membentuk suatu kekuatan yang sangat berarti. 

Untuk lelaki itu. Terimakasih. Karna telah mengajarkanku bahwa semua tak seperti apa yang dilihat. Hanya bumbu bumbu manis yang menemani pengelihatan. Sisanya? Biarkan naluri alam yang menjelaskan.

Senin, 30 November 2015

Dandelion.

‘Oh dia begitu luar biasa disana. Setiap gebukan dram nya membuat ku terpesona.’
“Liona apa yang kaulakukan? Jangan memandanginya seperti itu. Kau payah.” Suara itu lagi lagi mengganggu Liona disaat yang tidak tepat. “Bima! Kau ini selalu saja menggangguku. Aku tak memandanginya. Aku melihat yang lain juga.” Alibi Liona dengan cepat.

“Dasar payah! Memandanginya dari jauh tak kan membuat dia melihatmu. Kau berada diantara ribuan gadis yang menantinya.” Celoteh Bima.“Aku tak menantinya. Lagi pula siapa yang kau maksud?” “Bodoh. Siapa lagi kalau bukan...... KRIS NA? Hahahaha” “Bimaaaaaa. Sudah ku bilang. Aku tak menyukainya.” Jawab Liona kesal. “Hei gadis idiot. Nenek nenek buta pun tahu kau menyukainya.” Ucap Bima sambil mencubit kedua pipi Liona. “Kubilang tidak ya tidak!” “Iya.” “Tidak.” “Iya.” “Tidaaaaaak......”

“Liona.”

Suara itu? Aku mengenalinya.’ Detik itu juga Liona menghentikan pertengkarannya dengan Bima dan menolehkan kepala. Sontak ia pun terkejut bukan main.

“Oh hay. Kris.” Hanya itu yang keluar dari mulut Liona. “Bagaimana penampilanku tadi menurutmu?” “Kau selalu mengesankan bukan? Hahaha.” “Aku tak sehebat itu.”“Ekhem. Ekhem. Bima permisi dulu ya nona, tuan. Selamat menikmati malam indah bertabur bintang.” Celoteh Bima dan pergi begitu saja.

“Bima salah makan atau bagaimana?” tanya Krisna. “Biarkan saja. Otaknya sudah geser. Sudahlah abaikan saja dia. Bukannya dia selalu seperti itu?” Jawab Liona sebal. “Hahaha ya. Kau benar.”

*** Ruang Musik***

“Liona. Sepertinya kau ada masalah dengan Bima?” tanya Kris setelah Liona masuk ke ruang musik.“Ya tentu. Bima memang menjengkelkan.” Jawab Liona kesal.

Tiba tiba. Kris menyerahkan stik drum kepada Liona. “Ambillah.” Ucap Kris.“Untuk apa? Aku tak bisa memainkan drum.” Jawab Liona. “Kau pukul saja drum ini sesukamu, dan keluarkan semua amarahmu. Lampiaskan hingga semuanya hilang.” Kata Kris sambil tersenyum. “Kau yakin?” kata Liona ragu. “Tak ada yang tahu kalau kau tak mencobanya.”

Detik itu juga Liona mulau menuangkan segala amarahnya dan memukul drum tersebut tanpa ritme.Beberapa menit kemudian Liona sudah berhenti memukul drum tersebut. Nafasnya mulai menderu  tak beraturan.

“Bagaimana?” tanya Kris. “Hosh. Hosh. Lebih baik.” Jawab Liona sambil mengatur nafasnya.“Asal kau tau saja. Aku selalu melakukan itu saat aku marah, sedih, dan semua perasaan yang tak jelas. Dari sini aku menemukan ketenangan. Semuanya terasa lepas. Aku merasa seperti dilahirkan kembali.” Kata Kris sambil melihat ke arah jendela dan memandang mentari di sana.

“Wah kau mengajarkanku hal baru Kris. Aku tak pernah sekalipun mencoba drum. Ini kali pertamaku.” Jawab Liona. “Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan saat sedih atau marah?” tanya Kris heran.

Melihat hamparan Dandelion.” Jawab Liona ceria. “Dadelion? Apa yang kau dapatkan dari tanaman rapuh itu?” “Sesuatu yang tak pernah kau dapatkan.” Kata Liona percaya.“Oh baiklah. Liona aku mau menyanyikan satu lagu untukmu.” Kata Kris tiba tiba. “Sungguh?” Tak tau kenapa pipi Liona memerah.

Musik yang dimainkan : Bryant Adams-Heaven

***Rumah Liona***

“Hay booooo.” Sapa seseorang memasuki kamar Liona. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Liona kesal. “Wah putri idiot ini masih saja kesal ternyata.” Ucap Bima sambil menyalakan TV dan mulai memakan snack yang ada. “Terserah kau saja lah.” Liona tak mau merusak moodnya. “Kau sedang bahagia bukan?  Kau tak mau membagikannya pada sahabat tertampanmu ini?” “Baiklah. Aku memang tak dapat menyembunyikan apapun darimu. Tadi di Ruang Musik Kris menyanyikanku lagu Heaven. Oh dia terlihat mempesona.” “Oh.” Jawab Bima.

PLAK!!

Sebuah bantal mendarat mulus di kepala Bima. “Kau ini kenapa si?” tanya Bima. “Bisakah kau tidak merusak moodku?” Liona merasa sebal. “Hahaha baiklah.”

Tiba tiba Bima memegang tangan Liona.

“Kau boleh mencintai siapapun. Kau boleh bersama siapapun. Tapi mantapkan siapa pilihanmu. Kalau kau ada apa apa bilang saja padaku. Jangan pernah sungkan. Walau kau kelak melupakanku dan asik dengan pacarmu. Aku tetap berdiri disini. Kembalilah kapanpun kau mau. Jika kau jatuh. Aku akan membangkitkanmu lagi.” Kata Bima

Tak terasa air mata Liona mulau mengalir. Liona memeluk Bima dan menuangkan segala persaannya di pundak Bima.
“Hai. Kau harus kuat. Kau wanita hebat. Jadi jangan sia siakan air matamu. Ayolah kita main game saja. Aku senang melihatmu kalah.” Ucap Bima sambil membersihkan air mata di pipi Liona.

Detik selanjutnya Bima sudah memedang stick PS nya dan bersiap memulai permainan. “Bima.” Kata Liona tiba tiba. Sontak Bima menoleh “Ya?” “Terimakasih.” “Untuk apa?” tanya Bima heran. “Untuk semua yang kau lakukan.” Seulas senyum tulus terlukis di bibir Liona.

“Tak usah berlebihan seperti itu. Aku juga tak sadar bagaimana bisa berkata seperti itu. Harusnya tadi kau rekam ucapanku, agar mamaku bisa tahu bahwa anak tertampannya ini juga bisa berbicara serius. Hahaha.” Cengir Bima mengembang. Bagi Liona moment seperti ini adalah moment paling menyebalkan. Moment saat Bima merusak segala nya. Bima selalu membuat moment manis hancur begitu saja.

Tapi tetap saja. Apapun yang dilakukan Bima sudah pasti membuat Liona bahagia.

***Perpustakaan***

Waktu terasa berjalan dengan cepat, tak terasa sebentar lagi Liona akan menghadapi Ujian Kelulusan. Sudah sepekan Liona tak pernah absen dari Perpustakaan. Ntah berapa buku yang sudah ia baca, ntah berapa teori yang sudah ia jejalkan ke otaknya.

Langkah kaki Liona menuntunya kearah buku buku tebal tentang musik. Ntah apa yang ada di otak Liona sekarang, tetapi ia benar benar butuh hiburan. Tangannya terus menelusuri setiap buku, matanya tak berhenti membaca setiap judul buku yang ia jumpai.

Tiba tiba matanya terhenti karena sebuah buku tipis kecil dengan judul “CONFESSION.” Bukunya terlihat buruk, sangat tidak terawat. Ntah mengapa hati Liona menginginkan buku itu. Tanpa berfikir dua kali ia membuka bukunya halaman demi halaman. Ternyata isinya instrumen instrumen dari lagu Confession. Tak hanya instrumen piano, ada juga gitar, suling, dan lainnya. 

Ntah mengapa saat melihat buku itu hati Liona ingin sekali mendengar musiknya. Tapi ia saar, tak satupun alat musik yang ia kuasai. Akhirnya Liona mengembalikan buku tadi dan beranjak pulang.

Tanpa disadari sepasang bola mata berwarna cokelat terang mengawasinya sedari tadi. Saat Liona keluar dari perpustakaan si pemilik mata indah itu langsung mengambil buku yang sempat dipegang Liona dan meminjamnya.

***Caffe***

“Hei booooo.” Sapa seorang lelaki yang ntah datang dari mana.“Oh Tuhan bisakah kau membuat hidupku tenang walau sehari?” desah Liona pelan. “Nati kau merindukanku.” Tawa jail Bima keluar.“Tidak akan.” Jawab Liona penuh penekanan dan kembali membaca buku.

Tanpa meminta izin dari Liona, Bima sudah duduk di samping Liona dengan jarak yang nyaris tidak ada. Anehnya Liona sudah merasa biasa dengen tingkah Bima.

“Hufffttt. Bisakah kau berhenti belajar sehari saja?” kata Bima sembari meletakkan buku yang tadi dibaca Liona. “Bima kau tahu kan...” belum sempat Liona melanjutkan pembicaraannya, Bima sudah berbicara terlebih dahulu. “Aku tahu Liona. Tenang saja, aku tak kan lupa.”

“Oke untuk sekarang aku tak membaca buku lagi.” Jawab Liona. “Sungguh? Oh Tuhan terimakasih telah membuka mata dan kesadaran sahabatku ini.” Teriak Bima seketika.

Setelah membereskan segala buku yang tadi menumpuk mereka berdua mulai memesan makanan dan minuman. Tawa canda mulai mengalir tanpa henti Banyak tatapan mata iri yang menatap mereka. Bagaimana tidak? 

Bima dengan badan atletisnya yang tinggi putih dan kemampuannya memainkan gitar sungguh membuat wanita terpesona (kecuali Liona). Dan Liona, seorang gadis mungil dengan kulit sawo matang dan rambut ikal tak terlalu panjang yang ia ikat kebelakang dengan topi yang menambah kecantikannya. Mereka saling melengkapi, semua yang melihat beranggapan begitu.
“Hei dengarkan musik ini. Kau akan suka.” Tanpa basaa basi Bima menempelkan sebelah headsetnya ke telinga Liona dan yang satunya dijejalkan ke telingan Bima sendiri. Mereka berdua terdiam beberapa saat, saling menikmati musik dan kenyamanan caffe. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

“Bagaimana?” Suara itu berhasil mengagetkan Liona. “Hm ya?” “Musiknya.” “Oh ya tentu, itu sangat mengesankan, sepertinya si penulis membuat musik itu dengan hati yang tulus dan ditunjukan pada seseorang.” “Ya mungkin. Tapi kau berlebihan. Hahaha.” Jawab Bima. “Menyebalkan.” Gerutu Liona.

Sekitar 1 jam lebih mereka menghabiskan waktu dengan membahas segala hal. Dari hal yang paling penting sampai hal hal sepele yang sangat tak penting.

**Kantin****

Suara riuh dari anak anak berbagai kelas yang menikmati santapan mereka dengan tawa canda yang menghiasi. Tak berbeda dengan Liona dan Bima. Mereka menikmati setiap hal hal kecil yang terkadang menyita perhatian. Ledakan tawa tak pernah terhentikan.

“Liona.” Suara itu sontak menghantikan tawa Bima dan Liona. “Ya Kris? Ada apa?” “Nanti malam mau ke pasar malam bersamaku?” tanya Kris. Pertanyaat itu berhasil membuat hati Liona berdebar hebat. “Bagaimana?” “Oh ya. Tentu. Nanti malam? Jam berapa?” “Kita bertemu di sana saja ya. Jam 7.” “Oke.”

“Oh kau mengabaikan sahabat tertampanmu ini LAGI.” Gerutu Bima.

***Pasar Malam***

Gadis mungil dengan rambut yang diikat kebelakang sudah berada di tengah ramainya pasar malam. Senyumnya mengembang sedari tadi. Ia terus melirik jam yang ia kenakan.

“Oh aku datang terlalu awal rupanya. Tak apalah. Aku bisa berkeliling sebentar.”Liona pun mulai berjalan mengelilingi setiap sudut pasar malam. Sesekali ia mengabadikan dengan kamera yang ia bawa. Tak lupa ia terus mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Gemerlap lampu yang tadi menghiasi pasar malam sudah mulai redup satu persatu seiring dengan jarum jam yang menunjukkan tengah malam.

“Apakah dia benar benar tidak datang?” tanya Liona menerka. “Tidak. Dia pasti datang. Mungkin dia ada halangan. Aku akan menunggunya disini.” Kata Liona mantap.

Tetapi selang 1 jam hujan deras mulai turun. Semua orang sudah menutup lapak mereka. Liona masih tetap berdiri di tempatnya tadi. Ia tak bergeming sedikitpun.

Liona tak menikmati hujan malam ini. Biasanya ia akan menikmati hujan dengan secangkir latte hangat ditemani Bima yang selalu membuatnya tertawa. Dan sekarang? Ia hanya tertunduk menunggu dan terus menunggu.

Tiba tiba “LIONAAAA!” teriakan itu membuat senyum Liona mengembang lagi. Lona merasa tubuhnya ditarik dalam dekapan dada bidang dan menyebarkan harum X Limites yang sangat ia kenali.Tubuhnya terasa menghangat seketika. Hanya kenyamanan yang dapat ia rasakan.

Tak terasa air matanya mulai mengalir. ‘Mengapa bukan dia yang datang?’ Seketika tubuhnya terasa berat dan limbun seketika.

Saat membuka mata ia sudah berada di kamarnya. Kepalanya terasa pusing. Dan ketika ia mencoba mengingat kejadian sebelumnya hatinya masih terasa nyeri.

“Kau baik baik saja?” tanya lelaki dengan bau X Limites favoritnya. “Aku tak apa.” Seulas senym ia sunggingkan agar tak membuat cemas orang dihadapannya ini. “Kau bodoh. Mengapa masih menunggu jika dalam hatimu tau dia tak kan datang. Mengapa masih mau memaksakan keyakinanmu. Jangan sekali lagi kau dekati lelaki tak tau diri itu. Kau hanya menyiksa raga dan batinmu sendiri.” Kata Bima dengan amarah yang tak tertahankan. Liona hanya dapat memberika seulas senyum pada sahabatnya itu.  Ia tahu bahwa Bima dalam keadaan emosi yang tinggi.

***Kelas Kris***

BRAK!

Suara itu berhasil menciptakan keheningan di ruangan tersebut. Semua mata memandang lelaki yang baru saja memasuki ruang kelas. Tanpa basa basi lelaki yang akrab disapa Bima itu mendatangi Kris dan menyeretnya keluar ruangan.

Bima membawa Kris ke belakang sekolah. “Dasar tak tau diri. Apa maksudmu mengajak Liona ke pasar malam dan kau sendiri tak datang!” “Aku ada acara semalam Bim. Aku lupa mengabari Liona. Itu tak sengaja.” “Tak usah membual dengan segala alibimu. Kau melupakan Liona dan pergi bersama perempuan bernama Angela bukan?’ “Ya. Kau tahu itu?” seketika Kris terkejut.

“Ini untuk kejadian yang kau lakukan pada Liona.” Sebuah pukulan mendarat mulus di pipi Kris “Dan ini untuk mu yang berani mempermainkan sahabatku.” Satu pukulan lagi mendarat di perut Kris.

Tanpa berkata apa apa Bima langsung meninggalkan Kris yang tersungkur di tempat.

Beberapa hari kemudian terdengar kabar bawa Kris sudah menjalun hubungan dengan Angela. Berita itu berhasil menambah sesak di hati Liona.

***Ruang Kelas***

Suara goresan pena yang beradu di atas kertas menghiasi heningnya kelas. Teori teori yang mulai bermunculan mau tak mau harus dijejalkan ke otak setiap siswa.

“Bima. Bima. Bimaaaaa. BIMAAAAAA!” suara itu berhasil menyadarkan seorang lelaki yang terlelap di pojok kelas. “Ya?” jawab Bima. “Kau tak mendengarkan materi tadi sedikitpun?” tanya Liona heran. “Kau ini. Mengapa membangunkanku?” umpat Bima. “Ini sudah bel istirahat.” “Benarkah? Ohhh melegakan sekali rasanya.” “Mari ikut aku.” “Kemana?” Tanpa menjawab pertanyaan Bima, Liona langsung menarik tanganya.

Selang beberapa menit mereka sudah sampai di depan hamparah Dandelion. “Kenapa kesini?” tanya Bima heran. “Aku membutuhkan ketenangan.” Jawab Liona singkat. “Wah wah sahabatku yang satu ini benar benar frustasi ternyata.” Tawa Bima meledak.

Beberapa menit mereka saling berdiam diri dan merebahkan badan mereka di antara dandelion. Sungguh ketenangan tiada tara. Kala semua pikiran dapat menguap dengan sendirinya ditemani hembusan angin yang menentramkan.

Tiba tiba Liona berdiri dan berteriak keras sekali. “Kau gila ya.” Tanya Bima spontan. Tiba tiba air mata Liona mengalir tanpa ada yang memerintahkan. Ia terisak hebat.

Ini bukan seperti Liona yang Bima kenal selama ini. Liona yang biasanya ceria. Walau tahu Kris memiliki kekasih, ia tetap tersenyum dan membuat banyak orang tertawa. Tak sedikitpun terlihat kesedihan yang memancar dari bola matanya.

Bima benar benar terkejut dengan tingkah Liona. Ini pertama kalinya ia melihat Liona sesesak itu. Tanpa berpikir panjang Bima langsung menarik tubuh Liona kedalam dekapannya dan membiarkan Liona menumpahkan segala rasa yang ada.

Tangisnya kali ini terdengar seperti erangan rasa sakit yang selama ini ia pendam dalam dalam. Semuanya meluap tak terhentikan. Bima hanya diam menunggu Liona menyelesaikan tangisnya. Bima membiarkan Liona beradu dengan air mata dan gejolak yang ada pada hatinya.

Selang beberapa menit Liona sudah melonggarkan pelukannya dalam dada Bima. Ia sudah bisa menenangkan diri dan menikmati hembusan angin di hamparan Dandelion ini.

"Sudah merasa baik?” tanya Bima hati hati. Hanya anggukan kecil yang di tunjukan Liona, tetapi itu sedah membuat hati Bima jauh lebih baik.

Bima langsung mengambil gitar dan memainkannya di hadapan Liona. Liona terkesima dengan musik yang dimainkan Bima. Ia benar benar mendalami setiap detail petikan yang Bima lakukan. Tubuhnya terasa tenang dan pendengaranya takjub.

“Musik apa itu?” Tanya Liona saat Bima sudah selesai memainkan gitarnya. Bima tak menjawab, ia hany mengeluarkan buku tipis berjudul “CONFESSION.” Kali ini Liona benar benar terkejut.”Bagaimana kau....?” “Aku selalu tahu apapun tentangmu.” Jawab Bima sombong.

Bima menempelkan kedua tangannya ke wajah Liona dan berkata “Jangan pernah menangisi orang yang tak pantas untukmu. Air matamu terlalu mahal untuk itu. Tetap jadi seperti benih Dandelion.  Mereka terlihat sangat rapuh, namun sangat kuat, sangat indah, dan memiliki arti yang dalam. Kuat menentang angin, terbang tinggi menjelajah angkasa, dan akhirnya hingga di suatu tempat untuk tumbuh menjadi kehidupan baru. Itulah kau. Harus makin tangguh dan kuat dalam mengahadapi apa yang akan kau tempuh kedepannya.” Seulas senyum tulus terukir dari bibir Bima. Ia memberikan dekapan yang sangat berarti bagi Liona.


TAMAT.


Sabtu, 29 Agustus 2015

Terjebak Ruang Rindu

Aku sudah melupakannya. Aku yakin itu. Hatiku tak pernah ragu. Dia bukan milikku. Untuk apa aku selalu menggenggnggam namannya, kenangannya dan segala tentangnya. Akan ku lepas dia dari dekapanku. Apa aku harus berkata lantang untuk melepaskan sesak karena mu?

Kamu lelaki tak tau diri. Kenapa harus menciptakan kenangan dalam hidupku? Kenapa aku? Atau hanya aku yang menganggapmu lebih? Apa kau memang membuat semua kenangan di hidup ribuan perempuan lain?

Aku yang bodoh atau kenanganmu yang terlalu kuat? Aku lelah. Aku lelah selalu mendekap namamu dalam hatiku. Kalau dipikir pikir, apa gunannya aku menjaga namamu agar tersimpan rapi di hatiku? Haha. Aku memang bodoh.

Awalnya semua hanya berjalan layaknya kau teman baruku dan aku teman barumu. Sesederhana itu kita berkenalan. Hanya sebatas nama yang tak berarti penting bagiku. Hanya sebatas orang asing yang mengisi hariku. Dan aku yakin ada ribuan orang asing yang ku kenal setiap harinya.

Kau tak begitu menarik perhatianku. Sikapmu yang selalu mengajakku bergurau hanya ku anggap sebatas itu. Namamu yang muncul di layar chat ku hanya ku anggap hal sepele. Ya itu yang terjadi selama berbulan bulan.  Aku ingat betul bagaimana kau mengajariku bahasa jawa.

Lelaki jawa tulen yang harus berhadapan denganku yang kental dengan bahasa indonesia. Kau selalu berkata aku harus bisa lancar berucap bahasa jawa. Awalnya aku menolak. Tapi caramu mengajariku bahasa jawa berhasil menarik sedikit rasa simpatiku pada sosokmu.

Sederhana ya caramu agar bisa dekat denganku. Ya sederhana. Dan dengan cara paling sederhana itulah aku mulai benar benar memperhatikan sosok lelaki jawa tulen itu. Hal hal sederhana yang kuanggap sepela benar benar menarik hatiku untuk menatap sosokmu.

Lambat laun ku biarkan hatiku berkelana dalam jiwamu. Mulai menelusur lebih jauh tentangmu. Perkenalan awal yang hanya sebatas nama mulai berarti untukku. Ntah bagaimana, lelaki jawa tulen sepertimu berhasil melekatkan hatiku pada sosokmu.

Begitu pandainya dirimu. Aku tak tahu harus berbuat apa saat hatiku direnggut. Aku nyaman. Aku takut kehilangan. Dan akhirnya.... Ku biarkan hati ini tertambat padamu.

Saat aku benar benar menambatkan hatiku pada jiwa mu. Kau mulai menutup diri. Menajuh dan semakin menjauh. Ntah. Aku tak tahu kemana kau akan meninggalkan hati ini.

Sekarang hatiku tak mempunyai tambatan. Kosong. Hanya ada sisa sisa kenangan yang sesekali aku putar saat rindu ini mulai sesak tak tertahankan.

Hening. Tak ada lagi ajaran bahasa jawa yang kau ajarkan. Tak ada lagi lelucon bodoh yang kau lontarkan. Tak ada lagi serpihan serpihan kenangan yang kau ciptakan. Yang ada hanya aku, rindu, dan kenangan tentangmu.

Kali ini aku yakin bahwa bayanganmu telah hilang. Aku pikir dengan berbohong semua akan kembali baik baik saja. Kembali seperti saat aku tak tahu siapa namamu. Saat aku masih kental dengan ligas indonesia ku.

Sampai akhirnya banyak orang yang mengingatkanku tentang sosokmu. Dan bayangan itu hadir dengan senyum paling mengesalkan yang menyapa hatiku. Ku pikir kali ini semua akan baik baik saja. Tapi ternyata tidak.

Semakin aku membohongi perasaanku, semakin dalam pula rasa ini padamu. Hingga akhirnya ada seorang kawan yang berkata "Jangan bersifat munafik pada hatimu. Jika cinta ya katakan cinta. Kemunafikan tak akan mengubah perasaanmu yang kian menggebu."

Ku tuliskan kisahku saat aku benar benar terpojok dalam ruang rindu-ku sendiri.........

Lelaki Menyebalkan yang Selalu Ku RIndukan.

Aku merindukanmu. Rindu yang tak pernah kau ketahui seberapa besar aku merindukanmu. Seperti uap pada secangkir kopi. Awalnya memang membumbung tinggi, Namun, uap itu hanya bisa terbang sesaat lalu hilang begitu saja. Tak pernah sekalipun dianggap penting. 

Seperti itulah apa yang ku rasakan. Terkadang rindu ini lebih mirip endapan kopi, yang selalu berada di bawah dan tak terjamah sedikitpun. 

Aku tak merindukan sosokmu. Aku hanya merindukan sifatmu yang selalu membuatku tersenyum walau hanya hal sepele yang bodoh. Mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa mengenang semuanya sekarang.

Dulu aku sangat menyepelekan kebersamaan kita. Aku yakin tak akan ada rindu yang menggebu. Haha. Ternyata aku salah. RIndu ini bahkan sangat berpengaruh dalam hidupku. Dalam diam aku merindukanmu. 

Tentu saja kau tau bahwa aku sangat merindukanmu. Ya, karna aku yang mengatakan itu bukan? Tapi kau pasti tak tau bagaimana rsanya menahan rindu yang kian menggebu setiap harinya. Kau juga tak tau sebesar apa rindu ini sekarang. 

Lucu ya. Dulu kita seperti anjing dan kucing. Tapi sekarang? Aih aku benar benar merindukanmu. Rasanya seperti aku hidup di tengah gurun pasir yang selalu merindukan tetesan embun. Memang tak mustahil, tapi ku rasa itu berlebihan. 

Kau masih ingat kan bagaimana kita beradu mulut setiap bertemu? Itu yang paling ku rindukan. Setiap kata yang keluar dari mulutmu selalu tak bisa ku bantah. Lelucon bodoh yang selalu membuatku tertawa. 

Aku ingat kau pernah bilang "Kau tak akan pernah bisa mengalahkanku. Dan kelak kau akan merindukan setiap moment bersamaku. Hahahaha." Lalu dengan sinis aku menjawab "Kalok mimpi jangan tinggi tinggi." Haha. Aku salah ya, dan semua perkataanmu itu benar. Sekarang, aku merindukan setiap moment bersamamu. Bahkan hal paling tidak pentingpun selalu ku rindukan. 

Di tempat baruku ini banyak lelaki yang menyebalkan sepertimu. Tapi tak ada satupun dari mereka yang bisa mengalahkanmu.

Kau sahabat terbaikku sampai kapanpun. Lelaki idiot yang tak tau terimakasih dan selalu menghinaku. Lelaki menyebalkan yang selalu membuatku tersenyum. Lelaki yang selaliu menceritakan semua kehidupannya tanpa rasa ragu padaku. Lelaki yang melindungiku dengan sifatnya yang menjengkelkan. Lelaki yang selalu kentut di hadapanlku. 

Aku berharap kau tetap selalu ada untukku. Sampai kapanpun. Jangan pernah berubah. Jangan pernah menutupi apapun dariku. Tetaplah menjadi sahabat terbaikku walau kita jarang bertemu. 

Aku benar benar gadis beruntung. Tuhan telah mengirimkan seorang pelukis bulan sabit dibibirku. Terimakasih. Sekali lagi terimakasih.

Rabu, 15 Juli 2015

Secret Admirer

Prolog.
            Dua hati yang saling berharap dan saling mendoakan dalam diam. Selalu berpelukan melalui do’a yang tak pernah di utarakan satu sama lain. Hanya diam yang membuat mereka terlihat tak mengenal. Nyatanya? Hati mereka sudah menyatu namun tak saling tahu. Mereka tak berani bermimpi. Hanya mengagumi dari jauh dan saling tersenyum dalam diam. Namun Tuhan terlalu sayang. Tuhan satukan mereka menjadi satu rasa yang diselimuti kehangatan dan pelukan dalam do’a. Mereka tak perlu lagi menyembunyikan setiap perasaan. Karna saling menunggu tetapi tak saling tahu itu menyakitkan.

PoV Ishadi Akiko.
            Dia lelaki dengan mata tajam, berpenampilan dingin, dan camera yang selalu tergantung dilehernya. Lelaki yang kukagumi dari jauh. Pagiku terasa berwarna di Tokyo ini. Melihatnya dari jendela saja sudah membuat senyum dibibirku. Aku sadar aku hanya pengagumnya, berharap pun tak berani. Tetapi setiap aku melihatnya, ia selalu membuatku jatuh cinta setiap hari.

PoV Kitano Gun
            Aku melihatnya masuk ke apartement sebelahku. Rambutnya yang berwarna cokelat tak terlalu panjang itu terlihat sempurna dimataku.  Aku sudah menjadi pengagumnya dari awal melihat. Tetapi aku sadar, aku bukan siapa siapa. Berani berharap pun tidak. Memandangnya setiap hari sudah cukup membuat hariku menyenangkan. Ia selalu membuatku jatuh cinta setiap hari.
***
Semua orang sudah melakukan banyak aktivitas, tetapi Ishadi Akiko masih setia dengan baby doll pink dengan motif beruang putih yang dipadukan dengan bunga sakura. Ia hanya membuat coffe late dan melihat orang berlalu lalang dari jendela apartemennya. Mereka semua selalu menjadi inspirasi dalam hidupnya.Ia senang melihat keramaian tetapi ia muak jika harus berada di tengah keramaian.
Bunga sakura yang mekar dipadukan dengan harum kopi dengan rasa manis yang menari di lidah sungguh keindahan tiada tara. Ia masih setia meneguk setiap kopi dan merasakannya dengan perlahan. Semua terasa membaur dengan takaran yang sesuai.
                Saat matanya masih dimanjakan dengan keindahan musim semi,  tiba tiba ia menangkap sosok yang tak asing di antara padatnya lalu lalang kota Tokyo.
                Lelaki itu, dia manis sekali. Dengan pipi tirus dan mata tajam yang membuatnya terlihat begitu tampan. Tanpa sadar Akiko tersenyum. Melihatnya memfokuskan lensa pada salah satu objek, membuatnya terlihat makin sempurna. Dia lah orang yang membuat pagi Akiko menyenangkan di Tokyo ini. Hanya dengan melihatnya dari jendela apartemen saja sudah membuat hari Akiko terasa indah.
Dia datang dengan camera yang selalu dikaitkan di lehernya yang tegap itu. Ahhh dia benar benar membuatku jatuh cinta setiap hari .Bersamamu adalah mimpi yang selalu ku inginkan. Oh Tuhan.’ Hanya itu yang selalu ia ucapkan dalam hati.
***
                Siang ini Akiko bermaksud mendatangi kawannya Tomiyuki yang membuka salah satu kedai ramen di Shibuya. Kedainya begitu  terkenal karna ramen yang begitu luar biasa. Tomiyuki juga salah satu orang yang pandai sekali dalam hal berdagang. Ia mendekor kedainya dengan ornamen ornmen khas jepang dan memberi beberapa games pada pelangganannya di hari libur seperti ini.
*TING*
                Saat lonceng di pintu itu berbunyi Tomiyuki langsung menghampiri Akiko dengan wajah cerianya. Tetapi Akiko selalu beranggapan bahwa  wajah itu sangat bodoh.  “Moshi-moshi Tomiyuki-kun.” Sapa Akiko. “Hai Akiko-chan. Bagaimana kabar pangeran mu itu? Apa kau masih setia melihatnya dari jendela apartemenmu?” katanya sambil terkekeh.
“Kau ini benar benar menyebalkan ya. Aku ke sini mau menikmati ramen mu. Bukan membahasnya.” Gerutu Akiko. “Ohohoho baiklah. Akanku buatkan tonkotsu ramen kesukaanmu. Dan capuchino latte dingin favorite mu.” Jawabnya dengan lengkap. “Ahhaha kau benar benar menghafalnya.” Akiko tergelak sesaat.
                Sembari menunggu tonkotsu yang dibuat Tomiyuki, Akiko mulai mengamati sekeliling kedai  dan memandang setiap orang yang menikmati setiap suap dan merasakan hangatnya ramen yang dibuat dengan bumbu warisan keluarga Tomiyuki. Akiko pun mengambil camera dan mulai memfokuskan lensanya ke hal hal yang menarik.
DEG!
                Tiba-tiba saja jantung Akiko merasa akan meledak ketika lensanya mengarah pada lelaki itu. Lelaki yang selalu ia kagumi dari jauh. Lelaki yang selalu membuatnya tersenyum setiap pagi. Tubuhnya  terasa membeku dan tak bergerak sedikitpun.
‘Ia menatapku. Benar benar menatap kearahku. Apakah ini mimpi? Oh Tuhan dapatkah kau hentikan waktu pada detik ini?’  Akiko terus berceloteh dalam hati dan tanpa sadar cameranya terus mengarah pada lelaki itu.
“Hei Akiko. Kau ini sedang apa sih? Kenapa mematung seperti itu?” tanya Tomiyuki. “A K I K O.” Panggil suara itu lagi dengan intonasi yang di perlambat tetapi semakin keras.
Detik itu juga Akiko baru tersadar dan bertingkah biasa.
“Kau ini kenapa memanggilku seperti itu?” kata Akiko kesal. “Bagaimana tidak. Aku sudah memanggilmu 2 kali dan kau tak menjawab satupun.” Jawab Tomiyuki sembari menyenggol lengan Akiko.
“Ahhhh. Sudah selesai ya ramennya. Sini biar ku makan sekarang.” Tanpa menunggu jawaban dari Tomiyuki, Akiko langsung melahap ramennya. “Kau ini kenapa sih?” kata Tomiyuki sembari melayani pelanggan lain.
                Tanpa sadar Akiko terus melahap ramennya dengan cepat. Biasanya ia selalu menemukan kehangatan di setiap suapan ramen ini. Tapi kali ini yang ia rasakan hanya hambar. Alunan melodi yang diputar sama sekali tak terdengar. Hanya detak jantung yang bergema disetiap rongga tubuhnya.
‘Perasaan apa ini? Aku hanya pengagumnya, kenapa semuanya terasa canggung?’ Katanya dalam hati.
                Perlahan ia mulai mendongakkan kepala dan menatap lelaki dimeja depa itu. Ia benar benar menikmati setiap sendok ramen yang di telannya. Akiko  mulai mengambil kameranya dan memotret lelaki itu dengan perlaha. Wajahnya bagaikan pahatan yang begitu sempurna.
                Tiba tiba lelaki itu menoleh lalu berdiri sembari membawa semangkuk shoyu ramen dan sebotol air mineral tak lupa camera yang selalu tergantung dileher. Tanpa disadari ia berdiri di depan Akiko. Akiko gugup dan perlahan mendongak. Ia tersenyum.
“Bolehkah aku duduk di sini Akiko?”
Sontak mata Akiko melotot karna kagetnya dan hampir saja terjengkal dari kursi. “Ba.... ba...  bagaimana....kau.... tau..?”  “Oh itu. Tadi kan pemilik kedai memanggilmu. Jadi aku tau namamu.”
‘Huffttt kukira..... ‘ gerutu Akiko dalam hati.
“Bagaimana?” tanya Gun lagi. “Haah? Oh iya silahkan.” Jawab Akiko kikuk. Tanpa berfikir dua kali ia langsung menarik salah satu kursi dan melanjutkan makannya.
‘Bagaimana aku bisa makan jika keadaan seperti ini?’  Akiko terus menggerutu dalam hati.
“Hei namaku Kitano Gun. Panggil saja Gun” Katanya sembari mengulurkan tangan.“Ohh. Ohh aku Ishadi Akiko.” Akiko benar benar menahan tangannya  agar tidak gemetar.
“Oke baiklah. Apa kau juga seorang fotografer?” tanaya Gun memulai pembicaraan. “Ah aku masih belajar.” Jawab Akiko.“Boleh lihat hasilnya?”
Sontak Akiko sadar bahwa ia baru saja memotret Gun diam diam. “ Tidak. Eh jangan. Maksudku hasil fotoku tak menarik.”
 “Benarkah?” kata Gun.  “Ya, aku hanya memotret untuk inspirasi desain busanaku.” Alibi Akiko dengan cepat. “Apa kau desainer?”tanya Gun terlihat penuh antusias.“Kurang lebih seperti itu.” Jawab Akiko agak ragu.
“Oh itu mengagumkan.” Senyum Gun terlihat mengembang. Ntah kenapa pipi Akiko terlihat memerah. “Oh tidak seperti yang kau bayangkan.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Akiko. “Hahaha aku tau bagaimana desainer di Tokyo ini. Rata rata mengagumkan bukan?” Kata Gun sambil sesekali memakan ramen dihadapannya “Hahaha baiklah.”
TING!
                Bel pintu kedai berbunyi. Terlihat seorang wanita cantik dengan sweater berwarna hitam dipadukan dengan celana jeans pendek dan rambut coklat nya yang tergerai begitu indah. Tiba tiba wanita itu menghampiri meja  yang ditempati Akiko dan Gun.
“Hai Gun.” Suara itu berhasil mengagetkan Gun. “Oh hai. Apa kabar kau Qila?” Jawabnya setelah melihat wanita cantik yang baru saja datang itu. “Oh aku lelah sekali. Duduk diam di pesawat selalu membuatku bosan.” Gerutunya yang tiba tiba duduk di sebelah Gun.“Tetapi Paris masih menawan bukan?” kata Gun sembari terkekah. “Kau ini selalu saja memikirkan Paris. Hahaha.”
                Akiko bingung apa yang harus ia lakukan. Dan akhirnya Akiko meutuskan untuk menyantap kembali ramennya.
‘Aku benar benar merasa bodoh dihadapan mereka. Dianggap ada pun tidak. Mengapa hatiku terasa sakit? Ah bicara apa aku ini.’ Gerutu Akiko dalam hati. Akiko mendengarkan setiap kata yang keluar dari dua orang dihadapannya  itu.
“Bagaimana dengan penampilanku? Kau masih mengaguminnya bukan?” kata Qila dengan bangga. “Oh tentu saja. Kau selalu terlihat mengagumkan.” Jawab Gun sambil memandang Qila.
                Ntah mengapa tiba tiba tenggorokan Akiko tersekat dan ia berdeham cukup keras. Bisa dibuktikan dengan pandangan kaget dari dua orang dihadapannya itu.
“Oh maaf aku tak sengaja. Maaf aku mengganggu kalian.” Kata Akiko sembari berdiri dan membungkukan badan beberapa kali.  “OH tak apa.” Kata Gun.“Tidak tidak. Aku akan pergi saja. Permisi.” Kata Akiko dengan cepat.
 Dengan cepat Akiko ambil jaket  dan mulai melangkah menjauh. Baru satu langkah Akiko beranjak tangannya terasa ditahan oleh seseorang. Sontak ia menoleh reflek.
“Maaf aku melupakanmu tadi.” Kata Gun. “Apa? Maksudku tak mengapa. Kita juga baru kenal bukan?” sambung Akiko cepat. “Tidak begitu. Oh ya Qila ini Akiko dan Akiko ini Qila.” Kata Gun sembali berdiri.
“Ya aku Akiko.” Akiko memperkenalkan diri. “Qila.” Kata Qila singkat. “Bisa kau temani Qila sebentar? Aku mau kebelakang?” kata Gun pada Akiko. “Oh tentu.” Akhirnya Akiko kembali duduk.
“Hai.” Sapa Akiko setelah Gun meninggalkan mereka berdua. “Kau siapanya Gun?” tanyanya agak sinis. “Oh. Kita baru bertemu tadi.” Jawab Akiko seramah mungkin. “Oh.” Katanya sembari melihat penampilan Akiko. “Kenapa?” tanya Akiko heran.“Tidak. Hanya menilai penampilanmu saja. Lagi pula Gun tak akan memilih gadis yang tak tau mode sepertimu.” Katanya acuh.
Mata Akiko terlihat melotot karna kaget. ’What? Tak tau mode? Bahkan aku seorang desainer? Kau saja yang terlalu simple.’ Gerutu Akiko dalam hati.
                Karna percakapan tadi, merekapun hanya diam dan sibuk dengan ponsel masing masing. Tak lama setelah itu Gun pun datang.
‘Akhirnya.’ Ucap Akiko dalam hati.
“Maaf menunggu lama.” Ucap Gun sambil tersenyum. “Oh ayo cepat ini membosankan.” Kata Qila dan menarik lengan Gun.
                Ntah mengapa napasku terasa tercekat dan hampir saja aku berteriak. Untung saja semuanya masih terkendali.
“Baiklah. Tunggu sebentar.” Kata Gun lalu mengemasi  barang barangnya.“Kutunggu depan.” Kata Qila
“Oh ya Akiko. Terimakasih untuk waktunya. Dan maaf atas semuanya.”kata Gun sembari menemasi barangnya. “Oh ya aku juga terimakasih. Tak apa.”
“Bagaimana kita bisa bertemu lagi?” tanya Gun sembari mengalungkan kameranya ke leher. “Aah? Bertemu?” kata Akiko kaget. “Iya. Aku ingin melihat desain desainmu.” Jawab Gun santai.
“Kalau begitu datang saja di pameran busanaku. Sabtu di Harajuku pukul 7 malam.” Kata Akiko.
“Baiklah aku akan datang dan duduk paling depan. Arigatou Akiko-kun.” Jawab Gun “Oh baiklah semoga kau tak terlambat. Arigatou Gun-kun”
                Gun berjalan keluar dan melambai ke arah Akiko. Ntah mengapa mata Akiko tak dapat berpaling darinya. Setiap gerakan kecil yang Gun ciptakan terasa begitu indah. Caranya berbicara, berjalan, makan, oh sungguh luar biasa menurut Akiko.
***
                Sesampainya di apartement Akiko terus saja memikirkan kejadian sehari ini. Mimpinya yang selalu ia anggap terlalu tinggi sekarang menjadi di depan mata. Beberapa kali ia menampar dirinya sendiri agar ia tahu bahwa semua ini bukan mimpi. Camera nya selalu dilihat karna ia berhasil mengabadikan wajah lelaki dengan lekukan yang begitu sempurna.
                Tak lama ponselnya berdering. Dengan malas Akiko pun mengangkat nya.
                “Moshi moshi.” Sapa seseorang disebrang sana. “Ya Kazuto Oneesan. Apa ada masalah?” jawab Akiko dengan malas. “Kau lupa Akiko? Desain bajumu kurang 2. Dan besok kau sudah harus memamerkannya.” Jawab Kazuto dengan nada membentak. “Ahh aku benar benar lupa. Maafkan aku. Aku janji akan selesai sebelum acara dimulai.” Dengan cepat Akiko mematikan ponselnya dan berlari menuju meja tempatnya mendesain busana busana.
                “Bagaimana aku bisa lupa. Bukankah tujuanku keluar untuk mencari inspirasi tadi. Ahh Akiko kenapa kau ini.” Akiko terus memaki dirinya sendiri. “Baiklah aku harus mulai dengan inspirasi. Hmm bagaimana jika.... Ah aku tau, Gun. Ya dia inspirasiku.”
                Akiko pun mulai mengambil secarik kertas, beberapa pensil warna, dan cat air. Tangannya mulai melukis mengikuti aliran ide yang dipancarkan melalui otaknya. Gambaran Gun muncul menjadi inspirasinya. Matanya yang tajam, penuh keramahan, kesopanan, stay cool, terlihat dingin namun begitu hangat, dan semua yang menjadikannya sosok sempurna di mata Akiko.
                Saat semua indranya bekerja. Bayangan Qila tiba tiba muncul dan membuat semuanya kacau. Wajahnya yang kecil nan manis, gaya nya yang sangat kental dengan gaya barat, rambutnya yang mengombak dengan apik, namum berbeda jauh dengan sikapnya yang acuh, sinis, memandang sebelah mata. Oh itu benar benar membuat Akiko geram.
                “Ah aku tak bisa jika seperti ini. Kata kata gadis itu membuatku marah. Bagaimana Gun bisa sedekat itu dengan gadis culas sepertinya. Apa mereka berpacaran? Ah tapi mengapa Qila baru pulang dari Paris? Apa mereka sudah menikah? Oh jangan jangan mereka mempunyai anak di Paris? 2 anak mungkin. Oh atau 4 anak. Lalu mengapa Gun memuji karier ku sebagai desainer? Apa karna ia membutuhkan desainer untuk busana Qila? Atau dia hanya sekedar basa basi? MENGAGUMKAN. Dia berkata karierku mengagumkan. Ohh tunggu. Gun berkata karier ku mengagumkan, ia juga berkata penampilan Qila mengagumkan. Ohh aku benar benar gila sekarang.” Pikiran pikiran aneh keluar dari otak Akiko.
                Dan akhirnya ia hanya berhasil membuat satu desai. Luar biasa memang, tetapi ia membutuhkan dua desain. Atau acaranya akan gagal. Sedangkan sekarang sudah pukul 3 sore. Akiko harus cepat membuat desain dan mulai mencari kain serta pernak pernik untuk menambah keanggunan busananya.
                “Aku harus memesan semuanya lalu mencari inpirasi di Harajuku sekarang. Benar benar tak ada waktu untuk tidur.” Keluh Akiko.
***
                Akiko sudah sampai di Harajuku. Berkeliling kota Harajuku mencari semua bahan dan berada di kereta sungguh melelahkan. Ia butuh ketenangan dari secangkir latte.
                Tanpa berfikir panjang, Akiko mulai mencari kedai kopi yang nyaman. Tak perlu menunggu lama. Ia sudah berdiam diri di salah satu kedai dengan secangkir latte panas dengan sepiring unagi.
                Kedai yang tenang dan suara melodi yang dilantunkan sungguh membuat orang orang stres seperti Akiko betah berlama lama disini. Ia mulai mencoba mebuat desain. Dengan semua kenyamanan dan kehangatan dipadukan dengan suasana kota Harajuku yang begitu ramai dengan remaja yang berpakaian ala anime membuat semuanya terasa kontras. Namun benar benar menyatu hangat dalam ingatan dan hati setiap pengunjung.
                Setengah jam kemudian Akiko baru saja membuat 1 desain busana yang ia perlukan. Kekontrasan suasana kota dijadikan Akiko sebagai dasar dari busananya. Akiko membaurkan semua rasa dalam satu model gaun yang begitu indah.
                Ia benar benar merasa puas dengan hasilnya. Busana terakhir ini akan dijadikannya sebagai icon dalam peragaan busananya besok.
                Ia memutuskan untuk membeli beberapa bahan yang dibutuhkan dan mulai memadukan semuanya dirumah. Suasana hatinya sudah kembali menjadi indah dan sejenak ia berhasil melupakan gadis berparas malaikat ber jiwa evil itu.
***
                Setibanya di rumah ia langsung menjahit semuanya dengan penuh antusias . Busana terakhir ini harus dibuat sedetail mungkin. Ini adalah peragaan pertamanya. Dan Akiko harus membuat semua mata terpana dengan hasil karyanya. 1 bulan ia menata semuanya.
                Sekarang sudah tengah malam, namum jemari Akiko belum mau beranjak dari gaunnya. Matanya sudah tak sanggup lagi terbuka namun tekadnya begitu besar untuk menyelesaikan semuanya dalam waktu semalam.
                “Hoaammm. Oh Tuhan bantu mataku terbuka. Ini hanya kurang sidikit saja. Aku sudah kenyang memunum 8 gelas kopi. Hoaamm.” Gerutu Akiko.
KRING!
                Tiba tiba bel apartement Akiko berbunyi. Sontak membuat semua organ Akiko kembali bekerja.
                “Siapa yang bertama di tengah malam seperti ini? Oh apa itu hantu? Jangan jangan ia tak suka aku masih menghidupkan lampu apartement ku di tengah malam. Apa ia akan mencekikku? Oh Tuhan lindungi aku.”
                “AKIKO BUKA PINTUNYA! AKU TAHU KAU BELUM TERLELAP. INI AKU KAZUTO.” Suara itu terdengar dari luar.
                “Hufftt. Dia lagi. Untuk apa lelaki itu datang tengah malam. Sungguh membosankan.” Kata Akiko sembari berjalan kearah pintu dengan malas.
GREK!
                “Untuk apa kau datang di tengah malam seperti ini. Kan sudah ku bilang. Busana itu akan ku selesaikan secepatnya. Kau tak perlu menghantuiku dengan datang tengah malam oneesan. Lagi pula....” belum sempat Akiko melanjutkan, Kazuto sudah masuk ke dalam apartement Akiko. “Siapa yang mau membahas busanamu bodoh.” Sambung Kazuto.
                “Apa? Kau kesini bukan untuk menanyakan hal itu?” tanya Akiko melotot. Tentu saja bukan.” Jawab Kazuto tanpa rasa bersalah. “Lalu?” Akiko mulai geram dengan tingkah kakak nya ini. “Aku tahu kau tak kan tidur jika deadline seperti ini. Dan kau akan menghabiskan bercangkir cangkir kopi semalaman. Lalu paginya penyakit maag mu selalu saja kambuh. Sebelum itu terjadi, aku akan menyuruhmu berhenti melakukan itu semua. Cepatlah tidur. Aku yang lanjutkan busanamu.” Jawab Kazuto tenang.
                “Sejak kapan kau tak menjengkelkan?” Akiko terkejut dengan tingkah kakaknya. “Aku kan desainer terkenal jadi selalu memahami pemula sepertimu bodoh.” Jawab Kazuto dan mulai melanjutkan busana Akiko. “Apa kau bilang? Bahkan desainku akan lebih baik darimu. BODOH.” Akiko mulai merasa direndahkan. “Sudah sana tidur. Nanti kau bisa mati di penuhi cairan kopi.” Kata Kazuto tak peduli.
                Tanpa berfikir dua kali, Akiko memasuki kamarnya dan tidur dengan tenang. Terkadang ia merasa beruntung memiliki kakak seperti Kazuto. Namum sikapnya yang menyebalkan selalu membuat Akiko muak.
***
                Pagi ini Akiko bangun kesiangan, padahal ia ada janji dengan model model untuk busana fashion show nya nanti malam. Ia beranggapan ini semua salah Kazuto. Kazuto sama sekali tak membangunkannya, padahal ia tahu bahwa Akiko sudah ada janji.
                Pagi Akiko benar benar melelahkan. Ia membawa busananya sendiri. Padhal sudah di pinjami mobil oleh Kazuto, namum ia sudah terlambat hampir 4 jam. Akiko mulai mengendarai seperti pembalap.
                Dua puluh menit kemudian Akiko baru sampai di tempat yang sudah di sepakati.
‘Oh Aku benar benar tak punya nyali menampakan wajahku didepan mereka.’ Kata Akiko dalam hati.
                “Moshi moshi. Maaf saya terlambat untuk 2 busana terakhir.” Sapa Akiko walau ia merasa malu. “Dasar payah.” Kata Kazuto tiba tiba. “Kazuto Oneesan!!” Akiko benar benar kesal dengan kakanya itu.
                Setela meminta maaf berkali kali semua model sudah mengenakan busana busana karya Akiko. Semuanya berlatih berlenggak lenggok dengan busana Akiko. Ia benar benar menunggu malam nanti. Akiko berharap tak ada kesalahan sedikitpun.
                Siang berganti sore dan sorepun berganti malam. Akiko merasakan semuanya berjalan dengan sangat cepat. 15 menit lagi acaranya segera dimulai, kursi pun sudah dipenuhi orang orang yang ingin melihat karyanya. Banyak desainer desainer ternama yang menghadiri acara ini. Akiko benar benar gugup. Keringat dingin mulai keluar.
                Akiko merasa senang karena cita citanya terwujud. Dan yang pasti ia benar benar melihat Gun di deretan bangku terdepan sesuai janjinya. Yaps Akiko tak menemukan Qila. Itu membuat nya merasa lega.
                Tak lama, acarapun dimulai. Akiko mulai memperkenalkan diri dan menjelaskan ide ide dari rancangannya. Ia juga memperkenalkan kakaknya Kazuto yang memang sudah lebih dulu terjun ke dunia desain. Acaranya berlangsung sesuai rencana. Tak ada yang salah sedikitpun. Akiko melihat semua mata takjub dengan hasil karyanya.
                “Inilah busaha icon malam ini dan kita sambut desainer kita malam ini. Ishadi Akiko.” Kata MC diiringi tepuk tangan di sana sini.
                Akiko mulai menaiki panggung dan mendeskripsikan busananya. “Baik. Ini adalah busana Icon untuk acara saya malam ini. Saya merancang busana ini terinspirasi dari Harajuku. Ya. Tempat ini begitu indah ditambah dengan para remaja yang berpenampilan colourful. Tetapi disisi lain, saya menemukan kenyamanan dan kehangatan dari secangkir kopi dan nuansa salah satu kedai yang begitu memeluk raga saya. Nuansa ramai dan kehangatan saya padukan menjadi desain busana ini. Setiap warna yang saya ciptakan memberikan kesan gemerlap keramaian kota sedangkan setiap lekukan memberikan kesan anggun, lembut bahkan penuh kehangatan. Begitulah cara saya melihat Harajuku ini. Penuh keramaian dan hala hal hangat yang tersembunyi. Terimakasih.” Akiko mengakhiri kalimatnya dan disambut tepuk tangan riuh dari para penonton.
                Acara pun selesai. Akiko mendapat banyak tawaran untuk bekerja sama. Rasa bangga menyelimuti dirinya. Bintang bintang ternamapun ikut memesan busana busana darinya. Ntah mengapa ia sama sekali tak merasa lelah.
                Semua orang telah kembali ke rumah masing masing, tetapi masih ada seseorang yang masih setia menanti di salah satu bangku penonton. Sedari tadi ia hanya memandang Akiko dari kejauhan. Karena penasaran Akiko mendekati orang tersebut.
                Betapa terkejutnya ia melihat Gun masih berdiam disana. “Gun-kun.” Sapa Akiko penuh keheranan. “Moshi moshi Akiko-kun.” Jawabnya ramah. “Mengapa kau masih ada disini?” tanya Kaiko heran. “Tentu saja menunggumu tidak sibuk. Aku ingin mengobrol denganmu.” Jawab Gun
                “Mengobrol?” tanya Akiko meyakinkan.
                “Ya mengobrol. Ngomong ngomong busana mu tadi luar bisa mengagumkan. Sudah ku bilang kan, rancanganmu pasti mengagumkan.”puji Gun.
‘Oh Tuhan hatiku pasti meledak di dalam sana. Oh jangan biarkan ia melihat pipiku. Aku yakin pipiku sudah mirip tomat.’ Gerutu Akiko dalam hati.
“Oh benarkah? Terimakasih. Tetapi masih banyak yang lebih mengagumkan dariku.” Jawab Akiko. “Kau sudah pantas berada di jajaran orang orang mengagumkan Akiko-kun.” Katanya dengan antusias. “Kau ini bisa saja.”
“Bolehkah aku berfoto dengan perancang mengagumkan sepertimu?” tanya Gun. “Ah apa? Berfoto bersamaku?” sontak Akiko pun merasa tubuhnya terbang ke langit. “Ya tentu saja. Ini moment yang bagus bukan?” tanya Gun. “Oh baiklah.”
Setelah percakapan yang membuat Akiko tak bisa bernafas itu akhirnya mereka pulang bersama dengan kereta sembari berjalan jalan menikmati suasana malam di Harajuku.
“Oh ya Akiko, lusa aku mengadakan acara pameran hasil fotoku di Shibuya kau bisa hadir?”Kata Gun tiba tiba. “Apa? Maksudnya kau mengundangku?” tanya Akiko meyakinkan dirinya sendiri. “Ya. Tapi jika kau tak ada waktu tak apa.” Jawab Gun segera “Oh tidak. Aku tak ada acara apapun. Jika ada pun aku akan membatalkannya. Malam ini kau juga menonton pertunjukanku, jadi akupun akan datang ke acaramu.”
“Oh ya. Karna pembukaan hanya orang orang tertentu yang dapat maasuk. Jadi, ku berikan undangan ini agar kau dapat masuk.” Kata Gun menyerahkan undangan. “Wah kau baik sekali.” Balas Akiko.
Tak terasa kereta sudah sampai di stasiun Tokyo. Obrolan ringan mereka benar benar harus berakhir.
“Mau ku antar sampai rumahmu?” tawar Gun. “Oh rumahku di Yufuin. Disini aku tinggal diapartement.” Jawab Akiko. “ Yufuin? Desa yang bentuk rumahnya mengadaptasi dari dongeng dongeng itu?” tanya Gun heran. “Yaps. Orang tuaku tinggal di sana.” Jawab Akiko. “Lalu apa kau mau ku antar ke apartementmu?” tanya Gun lagi. “Oh tak usah, ini sudah larut malam. Biar aku naik taxi saja.” Jawab Akiko.
“Benarkah? Kau tak keberatan?” Gun agak ragu. “Tidak. Aku biasa menggunakan taxi. Lagi pula kau harus istirahat untuk acaramu lusa. Oh itu taxi. Aku pamit dulu. Arigatou Gun-kun.” Kata Akiko sembari memasuki taxi. Dari jendela Akiko melihat Gun melambaikan tangan.
***
                Sesampainya di depan apartement ia melihat sepasang sepatu yang sangat ia hafal. Dengan malas Akiko membuka pintu.
                “Moshi moshi. Aku pulang.” Kata Akiko malas. “Dari mana saja kau? Ini hampir larut dan kau baru pulang. Acaramu baru saja selesai, mengapa berkeliaran dengan lelaki tak kau kenal itu?” oceh Kazuto tanpa henti. “Apa apaan kau ini oneesan. Adikmu ini  baru saja pulang. Biarkan tubuhku istirahat. Baiklah, tadi aku berkeliling Harajuku untuk mencari makan lalu menunggu kereta. Ngomong ngomong lelaki tadi sudah kukenal. Dan dia baik.” Kata Akiko sembari memasuki kamarnya lalu mengunci pintu. “Hey aku belum selesai Bodoh.” Kata Kazuto berusaha masuk ke kamar Akiko. “Dan ingat, si Bodoh ini baru saja menampilkan fashion show nya yang pertamanya dengan sukses.” Teriak Akiko.
***
                Pagi ini Akiko bangun dengan badan pegal. Ia merasa tak sanggup berdiri, tetapi ia ingat bahwa apartement nya sangat berantakan karna urusan fashion show nya kemarin. Dengan malas ia keluar kamar, tiba tiba matanya menangkap gambaran bahwa semua ruangan terlihat rapi dan bersir. Tak ada manik yang berserakan, tak ada kertas bahkan semuanya telah kembali ketempat semula.
                Akiko membuka matanya lebar lebar. Ia mencubit pipinya beberapa kali. Ia yakin ini hanya mimpi, karna semalam Akiko melihat barang barang berserakan disana sini.
                Tiba tiba matanya menangkap gambaran secarik kertas di atas meja makannya. Kertas itu berisi “Hei Bodoh. Kau pasti bangun siang, dan aku yakin badanmu terasa sakit. Kakakmu yang tampan ini sudah merapikan apartementmu yang lebih mirip gudang. Aku juga membelikanmu Ikra Grukan Sushi, Sake Nigiri Sushi, dan Shoyu Ramen. Kau bisa buat latte sendiri kan? Aku malas membuatnya karna aku tak tau takaran untukmu. Tertanda Kazuto tampan.”
                “Dasar Bodoh. Kau selalu mengertiku.” Kata Akiko setelah membaca pesan dari kakaknya. Akiko langsung melahap semua makanan yang dipesankan Kazuto.
                “Oh baiklah. Hari ini aku akan ke salon Haruka Oneesan. Lalu memilih baju untuk acara Gun besok malam.” Kata Akiko pada dirinya sendiri.
***
                Setelah puas memanjakan diri dan memilih baju Akiko langsung menuju ke apartement dan mulai membuat desain untuk busana busananya kedepan. Tak lupa ditemani latte dingin favoritenya.
                “Gun. Oh aku tak bisa melupakannya sedetikpun. Latte ini benar benar hambar. Kenapa aku ini? Selalu menunggu malam nanti. Oh Tuhan semuanya terasa terbang.” Ucap Akiko sambil menari menari di atas tempat tidurnya.
***
                Malam yang ditunggu Akiko pun tiba. Ia benar benar mempersiapkan semuanya dengan hati hati. Undangannya tak lupa ia cek terlebih dahulu. Malam ini Kazuto tak mau membiarkan Akiko pergi sendiri.
                Sesampainya di Shibuya Kazuto membiarkan Akiko masuk sendiri. “Kau tak mau masuk?” tanya Akiko. “Tidak. Yang diundang kan kau bodoh. Mana mungkin aku lancang masuk.” Kata Kazuto acuh. “Baiklah. Aku masuk dulu ya oneesan. Hati hati di jalan. Arigatou.” Kata Akiko sembari meninggalkan mobil.
                Setelah masuk kedalam gedung Akiko mulai melihat beberapa hasil potretan dari Gun. ‘Oh ini mengagumkan. Dia benar benar berbakat. Sungguh luar biasa.’ Kata Akiko dalam hati. Setiap detail yang dihasilkan terasa begitu nyata dan penuh rasa.  Seperti memiliki pesan pesan tersendiri dalam setiap foto.
                Yang membuat Akiko heran adalah banyak sekali gambar wanita dengan rambut tergerai, rambutnya memang tak terlalu panjang namun setiap foto berhasil menutupi wajahnya. Akiko denar benar penasaran dengan gadis itu. Awalnya ia berfikir bahwa itu Qila. Namun rambut Qila lebih panjang dari itu.
                Foto pertama menggambarkan suasana kedai ramen yang familiar di ingatan Akiko. Gadis itu tengah menyantap ramen dan menundukan kepala.
                Foto selanjutnya gadis itu masih sama, ia terlihat berjalan di antara orang orang yan berlalu lalang. Ia membawa banyak kantong belanjaan dari toko toko bahan serta aksesoris. Akiko mengenal tempat itu, yaps itu adalah Harajuku. Namun gadis itu sedang menolehkan kepalanya ke arah kanan dan angin berhasil menerpa rambutnya. Alhasil wajahnya sama sekati tak terlihat.
                Kali ini fotonya terlihat berbeda. Rambut gadis itu dikuncir kebelakang. Memberi kesan ia terlihat sangat cantik. Tempatnya di kedai yang terlihat begitu nyaman dan tenang. Sayangnya gadis itu menghadap ke sisi lain dari kamera. Ditangannya ada pensil warna dan ia terlihat sedang menggambar sesuatu dengan penuh antusias. Hingga coffe dan sushi di depannya terlihat tak berkurang.
                Foto berikutnya gadis itu terlihat berbeda. Dihiasi gaun putih diatas lutut yang di padukan dengan bleazer hitam. Kali ini ia menghadap ke arah samping dan itu berhasil memperlihatkan separuh wajahnya. Sungguh lekukan wajah yang terlihat sempurna. Ia tersenyum dengan mata yang berbinar binar.
                Sampai saat ini Akiko masih menyelusuri setiap foto yang ditampilkan disana. Dan ia belum menemukan siapa gadis itu. Dan mengapa wajahnya selalu tak terlihat penuh?
                Tiba tiba terdengar suara riuh dari tengah gedung. Akiko berhasil melihat Gun di sana. ‘Ia benar benar tampan dengan kemeja abu abu. Badannya yang tegap sungguh menambah point plus untuknya dimataku. Oh Akiko kau ini hanya salah satu penggemarnya. Bangun Akiko.’ Kata Akiko dalam hati.
                Beberapa wartawan juga diundang ke acara tersebut. Pertanyaan pertanyaan dapat dijawab Gun dengan tegas. Salah satunya adalah “Tuan Gun siapa gadis yang ada dalam setiap foto anda? Mengapa wajahnya tak terlihat? Apa itu hanya model? Atau inspirasi Anda?”
 “Oh dia bukan model. Bahkan sekarang ia hadir disini. Dia inspirasiku dari dulu. Sudah lama aku menjadi pengagumnya dari jauh namun baru akhir akhir ini aku dapat berbicara dengannya. Dia sederhana, apa adanya, dan cantik seperti yang kalian lihat. Aku memang tak mau ia tau aku menjadi pengagumnya. Jujur aku malu. Maka dari itu aku selalu berusaha memotretnya tanpa terlihat wajahnya.” Jawab Gun sampil terkekeh.
“Benarkah itu? Lalu apa icon pameran anda malam ini?” tanya salah satu wartawan. “Baiklah mungkin ini sudah waktunya saya membuka kedok saya menjadi pengagum rahasianya.”
Terlihat dua bingkai besar tertuup kain putih di keluarkan. “Dia lah inspirasi saya. Dia yang membuat pagi saya berwarnya. Setiap lekuk dari wajahnya terlihat sempurna. Dan ia benar benar membuat saya jatuh cinta setiap hari.”
Kain putih yang menutup bingkai pun dibuka. Akiko merasa terkejut dan tak tau harus berbicara apa. Disana ada gambar dirinya yang tengah berdiri di panggung fashion shownya dengan gaun putih diatas lutut dan bleazer hitam yang sederhana. Dan bingkai kedua adalah foto Akiko bersama Gun setelah acara selesai. Semuanya benar benar membuat nyawa Akiko terasa melayang.
Mata Akiko tak lepas dari kedua bingkai di depan sana. Mata Gun tak dapat lepas dari Akiko yang berdiri tak jauh. Sedangkan para wartawan sibuk memotret semua kejadian itu.
“Akiko-kun. Aku berbicara disini sebagai penggemarmu. Mau kah kau memaafkan aku karna telah memotretmu secara diam diam? Aku mengagumimu sejak pertama melihatmu masuk ke apartement disebelah apartementku. Aku mulai menyukai semua tentangmu. Kau benar benar membuat hidupku berwarna. Kau membuat pagiku penuh senyuman. Maaf aku baru berani menyapamu akhir akhir ini. Mau kah kau menjadi teman hidupku?” kata Gun dengan menggunakan mik lalu menghampiri Akiko yang diam mematung. Ia pun menyerahkan miknya kepada Akiko.
Tanpa berfikir dua kali Akiko langsung memeluk Gun dan berkata “YA” dalam pelukan Gun. Qila juga hadir di sana. Ternyata Qila adalah kakak Gun yang tinggal di Paris. Qila hanya ingin mengetahui bagaimana sikap Akiko jika direndahkan. Bahkan ia masih bisa tersenyum.
Sekarang semua do’a mereka terjawab sudah. Do’a untuk bersama dalam kebahadiaan. Mimpi mimpi yang dianggap tinggi sudah ada di depan mata.Tak ada lagi jarak. Tak ada lagi rasa ragu. Semuanya sudah disatukan oleh takdir.
Kini Tuhan telah mengabulkan do’a dari dua orang yang saling mengagummi namun tak saling tau. Disatukan dalam satu hasrat yang penuh kehangatan. Ternyata ada yang lebih menyakitkan dari pada menunggu. Yaitu, saling menunggu tetapi tak saling tahu.

TAMAT.
Keterangan:
-Oneesan = panggilan untuk orang yang lebih tua.
-Moshi moshi = sapaan hai ala jepang.

-Arigatou = Terimakasih.